Majalah Manajemen/November 1998
J u d u l : MANAJEMEN MINIMAL
S u m b e r : Majalah Mitra No. 6 Tahun II, 1996
Apakah mempelajari Manajemen harus perlu teori dan buku tebal ?
Untuk mengenal praktek manajemen tidak perlu harus sudah membaca literatur yang tebal-tebal. Tidak mesti mengenal penggagas manajemen modern seperti F.W. Taylor, Pter F. Drucker, juga James Stoner. Atau mereka yang lebih dahulu seperti George R. Terry, Abraham Maslow, Douglas McGregor, dan Henry Fayol, David Ricardo yang klasik. Bagi sebagian orang, mengenal mereka, berikut karya-karyanya apalagi menjalankan "pola-pola yang mereka tawarkan", mungkin buang-buang waktu saja.
Karena, --begini kira-kira alasannya--banyak orang yang jarang atau tidak pernah sekalipun menyentuh karya-karya klasik atau yang kontemporer, dapat melakukan hal yang terbaik, semestinya, dan mampu menjalankan tugas manajerial berikut antisipasi terhadap berbagai hal sesuai perubahan dan keadaan di lingkungannya. Mereka dapat menjalankan usahanya secara baik, berhasil, dan usahanya terus berlanjut.
Bahkan ada orang yang setiap waktu mengunyah teori-teori manajemen dengan sangat giat tetapi tidak mampu menjalankannya secara baik. Ketersediaan sejumlah teori justru membuka peluang untuk tidak memilih kesemuanya, karena: semuanya baik.
Dari sini perdebatan klasik mengenai: apakah manajemen suatu seni yang bersifat subyektif ataukah ilmu yang obyektif. Berhenti pada tataran ini, peran manajemen dalam meningkatkan produktivitas sumber daya organisasi jelas sia-sia.
Dengan mengandaikan manajemen sebagai seni (art), sementara seni berhubungan dengan bakat, dan karenanya bersifat alamiah, maka pengetrapan manajemen hanya mungkin bagi mereka yang terlahir memang berbakat. Dengan cara pandang ini, teori manajemen hanya memberikan sejumlah prosedur, atau sebagai pengetahuan yang sulit diterapkan. Karena proses manajamen ditentukan oleh subyektivitas, atau style.
Manajemen sebagai ilmu (science) yang obyektif-rasional, bisa dipelajari oleh siapapun. Bahkan para ilmuwan dengan sangat fasih menguraikan teori-teori manajemen yang dikembangkannya. Tetapi apakah mereka mampu menerapkan dalam lingkup organisasi terkecil, minimal di lingkungan kerjanya?
Teori-teori manajemen hanya memberi sejumlah peluang, atau kemungkinan-kemungkinan, tanpa ada kepastian keberhasilan. Teori manajemen hanya dapat membimbing kepada prestasi dan hasil yang lebih baik. Sebagai ilmu, manajemen dengan sangat sistematis merupakan suatu uraian menyeluruh mengenai konsep-konsep dan langkah-langkah praktis yang siap implimentasi.
Garis hubungan yang begini rupa agak sulit ditarik pada suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Banyak orang yang telah dilatih sedemikian rupa, mungkin di tingkat ketrampilan (psikomotorik) dan pengetahuan (kognitif) mendapatkan sejumlah pengalaman baru yang siap-terap. Tetapi di tingkat karakter, watak (efektif), yang mengarah pada bagaimana mengambil keputusan yang diharapkan belum tentu mengalami kemajuan.
Dua kutub ini bukan untuk dipertentangkan. Pertentangan bukan cara memperbaiki kualitas kerja dalam suatu organisasi baik berskala kecil, menengah, ataupun yang besar. Manajemen mesti dipandang positif, dalam batas-batas tertentu.
Usaha kecil
Terutama bagi usaha kecil, manajemen tidak boleh dipandang dengan cara yang aneh, "tidak mungkin" atau "wah". Ketika sudah ada lebih dari lima karyawan dengan fungsi-fungsi yang makin meluas; harta benda, hutang piutang organisasipun makin beragam; transaksi dan jumlah uang yang berputar mencapai puluhan juta rupiah: manajemen sudah diperlukan.
Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan merupakan suatu cara manajerial untuk mengatasi masalah tersebut secara sistematis; dan bagaimana mendayagunakan sumber daya yang sangat terbatas itu untuk mencapai produktivitas yang lebih tinggi. Tanpa manajemen bukan pula semua masalah itu tidak bisa diatasi. (Karena tidak ada yang tidak mungkin).
Pada saat tantangan-tantangan luar makin menghebat, sementara persoalan intern tidak termanage dengan baik, maka enjadi hambatan dan bahkan pukulan yang membuat sumber daya kucar-kacir. Karena, setiap orang mengurus hal yang sama; penerimaan dan pengeluaran terjadi tanpa prioritas; atasan dan bawahan mengerjakan mulai yang teknis sampai pengambilan keputusan. Mungkin cara ini hanya baik untuk satu tujuan, untuk satu waktu. Selebihnya semua kehabisan tenaga.
Manajemen minimal: perencanaan, pengawasan sudah mutlak dibutuhkan. Seni (art) dan ilmu (science) harus dikombinasikan. Menolak atau mengatakannya tidak perlu hanya akan menjerumuskan organisasi mencapai usia yang makin pendek. Pada pihak lain, kalau dalam suatu waktu kita bisa menghasilkan lima -- dengan hanya sedikit sentuhan manajemen, mengapa kita harus mengambil pilihan dengan hasil satu.
Semua itu memang tidak mudah. Sama halnya bagaimana memadukan seni dan ilmu pada satu orang. Yaitu bagaimana menjadi manajer yang handal.
Majalah Manajemen: Servant First Attitude
Oleh: Andrias Harefa*
Kalau ada orang bisnis yang mengatakan bahwa pelanggan bukan yang
terpenting, maka ia mungkin akan dianggap gila. Sebab bukankah kita telah lama
mendengar berbagai slogan seperti "pelanggan adalah raja" yang
kemudian direvisi Michael Dell menjadi "pelanggan adalah dewa"?
Karena itu, entah sebagai "raja" atau sebagai "dewa",
pelanggan harus dilayani dengan segenap hati, pikiran dan otot. "Keep
your customers happy, and they will keep you in the business," begitu
kalimat hikmat para promotor konsep customer-driven company maupun (customer)
value-driven company.
Dalam bisnis, dalil utamanya adalah customer comes first. Apa yang
dibutuhkan (needs), diharapkan (expectations), dan diinginkan (wants) pelanggan,
itulah yang memberikan peluang kepada orang bisnis. Pelanggan selalu mau
membayar mahal apa saja yang bertalian dengan N-E-W
(Needs-Expectations-Wants)-nya. Dan kaum bisnis tidak saja berkewajiban untuk
melayani N-E-W-nya itu, tetapi juga menciptakan NEW-NEW baru lewat apa yang
belakangan ini disebut sebagai proses Value Creating Business. Peluang
bisnis bukan hanya perlu ditanggapi, tetapi sudah sampai taraf bisa diciptakan
lewat proses rekayasa canggih para periset pemasaran dan konstituennya.
Dalam bisnis, sistem pelayanan pelanggan haruslah diarahkan sedemikian rupa,
bukan sekadar untuk memuaskan pelanggan, tetapi untuk membuatnya setia dan
fanatik terhadap produk atau jasa atau brand yang ditawarkan perusahaan. Customer
Satisfaction Index (CSI) harus digantikan dengan Customer Delighted Index
(CDI, ini istilah yang belum saya temukan dalam literatur, jadi cuma sekadar
rekaan hasil berpikir logis saja) atau Customer Loyalty Index (CLI, ini
juga istilah rekaan penulis).
Dan para pakar atau periset di bidang pemasaran dengan piawai mencoba menawarkan
berbagai jasa pengukuran CSI maupun CDI/CLI dengan harga tinggi karena tahu
betul bahwa banyak perusahaan bersedia membayar mahal untuk mengetahui persepsi
dan tingkat fanatisme serta kesetiaan pelanggan terhadap produk/jasa/brand mereka.
Ini soal masa depan perusahaan, soal hidup dan matinya perusahaan, jadi wajar
kalau biayanya mahal, bukan?
Seperti ketika CSI mewabah sebagai bagian dari konsep bisnis modern yang diikuti
oleh konsep Employee Satisfaction Index (ESI), maka baik CDI maupun CLI
---kalau ada yang mau mengukurnya secara kuantitatif--- pada gilirannya akan
dikaitkan dengan Employee Delighted Index (EDI) dan Employee Loyalty
Index (ELI). Sebab kalau pelanggan eksternal (customer) dianggap
penting, maka pelanggan internal (employee, pegawai) tentu tak kalah
penting.
Bukankah pelanggan internal (middle line) itulah yang memainkan peranan
strategis dalam melayani pelanggan eksternal (top line) agar shareholders memperoleh
profit (bottom line)?
Masalahnya, bila pelanggan internal diminta fokus melayani pelanggan eksternal,
maka siapakah yang harus fokus melayani pelanggan internal itu? Jawabnya mungkin
ini: para pemilik bisnis yang terutama diwakili oleh manajemen puncak sebuah
perusahaan. Merekalah yang harus fokus melayani pegawai dan pekerja di dalam
perusahaan.
Pada titik ini, dalam pengamatan saya, kita segera menyaksikan kemunafikan orang
bisnis, khususnya pemilik bisnis dan manajemen puncak. Pada satu pihak mereka
dengan gigih menekankan para pegawainya agar serius melayani pelanggan sebaik
mungkin.
Namun pada pihak lain mereka kesulitan untuk menunjukkan bukti-bukti bahwa
mereka sendiri sangat fokus melayani berbagai N-E-W dari para pegawai gajian
tersebut. Banyak perusahaan yang masih bisa membukukan laba tinggi dalam
kesulitan-kesulitan ekonomi yang sedang berlangsung di tanah air. Namun tidak
banyak perusahaan yang bersedia menaikkan gaji pegawainya di atas 20 persen per
tahun dengan dalih situasi ekonomi yang serba sulit saat ini.
Pemilik bisnis dan manajemen puncak perusahaan tentu paham betul bahwa
angka-angka inflasi telah membuat banyak pegawai berkurang daya beli dan bahkan
daya hidupnya bila kenaikan gaji selalu lebih kecil daripada angka-angka
inflasi. Namun, mereka berharap para pegawai yang mayoritas memang tidak punya
banyak pilihan itu (takut di-PHK) rela berkorban dan menunjukkan sikap mengabdi
untuk "kepentingan bersama".
Apa yang ingin saya katakan dengan uraian singkat di atas adalah masalah-masalah
pelayanan pelanggan selalu berakar pada masalah sikap pemilik bisnis dan
manajemen puncak terhadap pegawai mereka, dan bukan pertama-tama dan terutama
merupakan masalah antara sikap pegawai dengan pelanggan eksternal perusahaan.
Mencari pelanggan baru boleh jadi akan selalu lebih mudah dibandingkan dengan
usaha mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Sebab untuk mempertahankan
pelanggan yang sudah ada diperlukan suatu bentuk hubungan yang intim (customer
intimacy) yang benar-benar berakar pada konsep win-win solution.
Masalahnya, para pakar di bidang pemasaran dan pelayanan pelanggan sangat sering
mengatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk mencari pelanggan baru 3-5 kali
lebih mahal dibandingkan dengan usaha mempertahankan pelanggan yang sudah ada.
Ironisnya, mayoritas pemilik bisnis dan manajemen puncak perusahaan sedikit
sekali yang benar-benar meyakini bahwa dalil tersebut juga berlaku dalam
hubungan mereka dengan pelanggan internalnya (pegawai).
Mereka tidak mampu memahami bahwa biaya melatih pegawai baru akan 3-5 kali lebih
mahal daripada tetap mempekerjakan pegawai lama yang menuntut kenaikan gaji
secara lebih manusiawi. Pegawai atau pelanggan internal itu lebih sering
diperlakukan sebagai alat produksi dan mesin-mesin pemasaran yang harus tunduk
pada instruksi "manual"-nya.
Tentu, kita banyak mendengarkan pidato-pidato manis pemilik bisnis dan manajemen
puncak perusahaan tentang "aset" terpenting perusahaan adalah manusia
(pegawai itu manusia, bukan?). Masalahnya, coba tanyakan berapa besar anggaran
yang disediakan perusahaan untuk pendidikan dan pelatihan pegawai, untuk
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja pegawai, dan untuk peningkatan
kesejahteraan berupa gaji dan fasilitas hidup lainnya, pada setiap tahun
anggaran?
Jadi, dalam pandangan saya yang terbatas, soal-soal mencari dan mempertahankan
pelanggan lebih merupakan soal pemilik bisnis dan manajemen puncak perusahaan
dan hanya sedikit sekali berkaitan dengan sikap mental serta keterampilan
pegawai. Ini pertama-tama dan terutama soal budaya perusahaan, soal seberapa
baik sistem perusahaan mengadopsi nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan kerja
internal dan hubungan bisnis sehari-hari.
Customer comes first, dan itu benar. Dan bagi pemilik bisnis serta
manajemen puncak perusahaan, dalil itu berarti employee comes first.
Artinya upaya mencari dan mempertahankan pelanggan adalah soal servant first
attitude, dimana pemilik bisnis maupun manajemen puncak harus belajar
mendemonstrasikan sikap dan perilaku nyata untuk serving their employees
first.
Slogan-slogan manis tak punya banyak arti, sebab bila pegawai harus memilih
antara (1) mempercayai kata-kata manajemen puncak atau (2) mempercayai perilaku
nyata mereka sehari-hari, maka hampir dapat dipastikan pegawai akan memilih yang
terakhir. Sebab yang terakhir ini memang lebih dekat dengan
"kebenaran" ketimbang yang pertama.
Jadi, pendidikan dan pelatihan di seputar pelayanan pelanggan sebenarnya lebih
tepat diarahkan kepada pemilik bisnis dan manajemen puncak, bukan kepada customer
service officers, sales-marketing officers, operators, atau frontliners lainnya.
Sepanjang para pemilik dan manajemen puncak terus menerus belajar
mendemonstrasikan servant firts attitude terhadap pegawainya (middle
line), memenuhi bahwa melampaui needs-expectations-wants-nya para pegawai
yang melayani pelanggan eksternal (top line), maka ia tidak perlu khawatir
tentang profit (bottom line) yang akan dinikmatinya.
Benarkah demikian?
*) Andrias Harefa, bekerja sebagai knowledge entrepreneur, learning
partner-consultant, motivational-public speaker, dan penulis beberapa buku
best-seller terbitan Gramedia dan Penerbit KOMPAS. Pemrakarsa Komunitas
Pembelajar (september 2000)
Majalah Manajemen: Aku Bekerja, Maka Aku Ada
Oleh: Andrias Harefa*