Inovasi-Kewirausahaan: Kewirausahaan: Untuk Semua
Orang?
Oleh: Andrias Harefa*
Menjadi wirausaha yang handal tidaklah mudah.
Tetapi tidaklah sesulit yang dibayangkan banyak orang,
karena setiap orang dalam belajar berwirausaha.
Menurut Poppy King, wirausaha muda dari Australia yang terjun ke bisnis sejak
berusia 18 tahun, ada tiga hal yang selalu dihadapi seorang wirausaha di bidang
apapun, yakni: pertama, obstacle (hambatan); kedua, hardship (kesulitan);
ketiga, very rewarding life (imbalan atau hasil bagi kehidupan yang
memukau). Dan saya setuju sepenuhnya dengan pernyataan itu. Karenanya saya
berpendapat bahwa sesungguhnya kewirausahaan dalam batas tertentu adalah untuk
semua orang. Mengapa?
Saya kira cukup banyak alasan untuk mengatakan hal itu. Pertama, setiap orang
memiliki cita-cita, impian, atau sekurang-kurangnya harapan untuk meningkatkan
kualitas hidupnya sebagai manusia. Hal ini merupakan semacam "intuisi"
yang mendorong manusia normal untuk bekerja dan berusaha. "Intuisi"
ini berkaitan dengan salah satu potensi kemanusiaan, yakni daya imajinasi
kreatif.
Karena manusia merupakan satu-satunya mahluk ciptaan Tuhan yang, antara lain,
dianugerahi daya imajinasi kreatif, maka ia dapat menggunakannya untuk berpikir.
Pikiran itu dapat diarahkan ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan
berpikir, ia dapat mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
penting seperti: Dari manakah aku berasal? Dimanakah aku saat ini? Dan kemanakah
aku akan pergi? Serta apakah yang akan aku wariskan kepada dunia ini?
Menelusuri sejarah pribadi di masa lalu dapat memberikan gambaran mengenai
kekuatan dan kelemahan seseorang. Didalamnya terdapat sejumlah pengalaman hidup
: hambatan dan kesulitan yang pernah kita hadapi dan bagaimana kita
mengatasinya, kegagalan dan keberhasilan, kesenangan dan keperihan, dan lain
sebagainya. Namun, karena semuanya sudah berlalu, maka tidak banyak lagi yang
dapat dilakukan untuk mengubah semua itu. Kita harus menerimanya dan memberinya
makna yang tepat serta meletakkannya dalam suatu perspektif masa kini dan masa
depan (Harefa: Sukses Tanpa Gelar, Gramedia Pustaka Utama, 1998,
hlm.3-7).
Masa kini menceritakan situasi nyata dimana kita berada, apa yang telah kita
miliki, apa yang belum kita miliki, apa yang kita nikmati dan apa yang belum
dapat kita nikmati, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dan apa yang
menjadi hak asasi kita sebagai manusia, dan lain sebagainya. Dengan menyadari
keberadaan kita saat ini, kita dapat bersyukur atau mengeluh, kita dapat berpuas
diri atau menentukan sasaran berikutnya, dan seterusnya.
Masa depan memberikan harapan, paling tidak demikianlah seharusnya bagi mereka
yang beriman berkepercayaan. Bila kita memiliki masa lalu yang tidak
menyenangkan, dan masih berada pada situasi dan kondisi yang belum sesuai dengan
cita-cita atau impian kita, maka adalah wajar jika kita mengharapkan masa depan
yang lebih baik, lebih cerah, lebih menyenangkan. Sebab selama masih ada hari
esok, segala kemungkinan masih tetap terbuka lebar (terlepas dari pesimisme atau
optimisme mengenai hal itu).
Jelas bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan bertalian langsung dengan daya
imajinasi kita. Dan di dalam masa-masa itulah segala hambatan (obstacle),
kesulitan (hardship), dan kesenangan atau suka cita (very rewarding
life) bercampur baur jadi satu. Sehingga, jika Poppy King mengatakan bahwa
ketiga hal itulah yang dihadapi oleh seorang wirausaha dalam bidang apapun, maka
bukankah itu berarti bahwa kewirausahaan adalah untuk semua orang? Siapakah
manusia di muka bumi ini yang tidak pernah menghadapi hambatan dan kesulitan
untuk mencapai cita-cita dan impiannya?
Alasan kedua yang membuat kewirausahaan itu pada dasarnya untuk semua orang
adalah karena hal itu dapat dipelajari. Peter F. Drucker, misalnya, pernah
menulis dalam Innovation and Entrepreneurship bahwa, "Setiap
orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi
wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha. Sebab (atau maka) kewirausahaan
lebih merupakan perilaku daripada gejala kepribadian, yang dasarnya
terletak pada konsep dan teori, bukan pada intuisi". Dan
perilaku, konsep, dan teori merupakan hal-hal yang dapat dipelajari oleh
siapapun juga. Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk belajar,
maka kesempatan untuk menjadi wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita sadar
bahwa belajar pada hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang
tidak selalu berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu,
tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja (saya
menyebutnya Sekolah Besar Kehidupan), maka belajar berwirausaha dapat dilakukan
oleh siapa saja, meski tak harus berarti menjadi wirausaha "besar".
Alasan yang ketiga adalah karena fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa
para wirausaha yang paling berhasil sekalipun pada dasarnya adalah manusia
biasa. Sabeer Bathia, seorang digital entrepreneur yang meluncurkan hotmail.com
tanggal 4 Juli 1996, baru menyadari hal ini setelah ia berguru kepada
orang-orang seperti Steve Jobs, penemu komputer pribadi (Apple). Dan kesadaran
itu membuatnya cukup percaya diri ketika menetapkan harga penemuannya senilai
400 juta dollar AS kepada Bill Gates, pemilik Microsoft, yang juga manusia
biasa.
Alasan keempat yang ingin saya sebutkan disini adalah karena setelah mempelajari
kiat-kiat sukses puluhan wirausaha kecil, menengah dan besar, dalam konteks
lokal-nasional-regional sampai internasional-global-dunia, maka saya sampai pada
kesimpulan bahwa kiat-kiat sukses mereka sangatlah sederhana. Dalam buku Berwirausaha
Dari Nol telah saya sampaikan bahwa mereka:
….. digerakkan oleh ide dan impian,
….. lebih mengandalkan kreativitas,
….. menunjukkan keberanian,
….. percaya pada hoki, tapi lebih percaya pada usaha nyata,
….. melihat masalah sebagai peluang,
….. memilih usaha sesuai hobi dan minat,
….. mulai dengan modal seadanya,
….. senang mencoba hal baru,
….. selalu bangkit dari kegagalan, dan
….. tak mengandalkan gelar akademis.
Sepuluh kiat sukses itu pada dasarnya sederhana, tidak memerlukan orang-orang
yang luar biasa. Orang dengan IQ tinggi, sedang, sampai rendah dapat (belajar)
melakukannya.
Alasan kelima adalah karena kewirausahaan mengarahkan orang kepada kepemimpinan.
Dan kepemimpinan adalah untuk semua orang (Harefa : Berguru Pada Matahari,
Gramedia Pustaka Utama, 1998; juga Harefa: Menjadi Manusia Pembelajar,
Kompas, 2000).
Dengan lima alasan sederhana di atas, saya ingin menegaskan bahwa kewirausahaan
adalah untuk semua orang. Saya tidak percaya pada teori atau konsep yang
mengatakan bahwa orang yang berdarah Tionghoa saja yang dapat sukses
berwirausaha (pandangan ini diyakini sebagian orang di Indonesia). Sebab dengan
demikian bagaimana kita menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak, Minang
Kabau, Lampung, Sulawesi, Lombok, dan pribumi lainnya yang juga sukses
berwirausaha? Saya juga tidak mendukung teori Max Weber yang menempatkan kaum
protestan sebagai wirausaha ulung tanpa tanding (meski untuk konteks Amerika dan
Eropa mungkin ada benarnya). Sebab bagaimana ia menjelaskan keberhasilan
wirausaha-wirausaha di wilayah Asia dan Timur Tengah yang bukan protestan?
Bukankah keberhasilan Taiwan dan Singapura oleh Lee Teng-hui dan Lee Kuan Yew
dinyatakan sebagai "dampak" etika konfusianisme?
Tetapi saya setuju ketika Anugerah Pekerti, mantan Direktur Utama Lembaga
Manajemen PPM, mendefinisikan kewirausahaan sebagai tanggapan terhadap
peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil
berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif, dan inovatif. Saya juga
sependapat dengan Howard H. Stevenson, mantan Presiden Harvard Business School
yang memahami kewirausahaan sebagai suatu pola tingkah laku manajerial yang
terpadu dalam upaya pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia tanpa mengabaikan
sumber daya yang dimilikinya. Saya mendukung pendapat Drucker bahwa
pemanfaatan peluang merupakan definisi yang tepat untuk kewirausahaan dan bahwa
seorang wirausaha harus mengalokasikan sumber daya dari bidang-bidang yang
memberi hasil rendah atau menurun ke bidang-bidang yang memberi hasil tinggi
atau meningkat.
Richard Cantillon, orang pertama yang menggunakan istilah entrepreneur di
awal abad ke-18, mengatakan bahwa wirausaha adalah seseorang yang menanggung
risiko. Ia benar. Joseph Schumpeter juga benar ketika mengatakan bahwa
wirausaha adalah inovator produksi. Dan mengatakan bahwa wirausaha adalah
seorang peniru, seperti pendapat William H. Sahlman, juga tak ada
salahnya. Tetapi saya pribadi lebih suka pada pandangan Jose Carlos
Jarillo-Mossi yang mengatakan bahwa wirausaha itu adalah seseorang yang
merasakan adanya peluang, mengejar peluang-peluang yang sesuai dengan
situasi dirinya, dan percaya bahwa kesuksesan merupakan suatu hal yang dapat
dicapai.
Kewirausahaan adalah untuk semua orang. Semua orang berpotensi untuk menjadi
wirausaha. Namun apakah ia wirausaha yang berhasil, setengah berhasil, atau
gagal, itu soal lain. Sama seperti orang-orang yang berpotensi menjadi presiden
tidak semuanya menjadi presiden sungguhan, sementara yang tidak disangka-sangka
menjadi presiden (seperti Gus Dur tercinta, misalnya) justru berhasil menjadi
presiden. Artinya, antara lain, tak ada konsep atau teori yang bersifat mutlak,
juga tentang kewirausahaan. Tidak juga teori yang disampaikan lewat tulisan
pendek ini.
*) Andrias Harefa, bekerja sebagai knowledge entrepreneur, learning partner,
motivational speaker, dan penulis beberapa buku best-seller terbitan Gramedia
Pustaka Utama dan Penerbit KOMPAS.