EKSPOSE : RATIH, LARAS DAN KINTAN

Sumber: MAJALAH SWA 19/XIII/9 - 22 OKTOBER 1997

Tiga peragawati berkumpul, apa yang bakal terjadi? Kalau itu ditanyakan ketiga serangkai Ratih Sanggarwati, Kintan Umari, Larasati Iris Rischka, maka jawabannya: model agency. "Dunia mode sudah berkembang sedemikian pesat. Sudah saatnya profesi model dihargai sebagaimana mestinya," kata Ratih tentang ide di balik pendirian agensi tersebut.

Ide mendirikan agensi sebenarnya sudah lama ada di benak Ratih. Untuk mewujudkan keinginannya, peragawati senior kelahiran Ngawi, 8 Desember 1962 itu mengajak dua rekannya Kintan dan Laras. Lalu, berdirilah Ekspose Model & Talent Management pada 22 Juli 1994 di Jakarta. Dengan modal awal Rp. 100 juta, Ratih menjabat sebagai Direktur Utama menjadi pemegang saham terbesar (60%), sedangkan dua rekannya masing-masing 20%. Mereka sadar bahwa usaha yang mereka rintis bukan semata-mata untuk mencetak keuntungan. Namun, lebih untuk mewujudkan idelisme tertentu. Kintan, yang lulusan Jurusan Sastra Rusia, Fakultas Sastra Univ. Indonesia, mengatakan bahwa dunia modelling Indonesia hendaknya tidak dipandang dari sudut glamornya saja. Dunia model juga memiliki sistem tawar-menawar tersendiri manakala berhubungan dengan bisnis. Disinilah mereka memerlukan kehadiran agen, jika ingin mempunyai bargainning position yang baik dengan pengguna jasa mereka, catwalk, majalah dan iklan.

Di dunia model Indonesia memang belum mempunyai sistem agensi, yang bertindak sebagai penasihat dan konsultan secara total. Berbeda dari pengalaman mereka ketika melanglang buana. Ratih pernah bergabung dengan Carrie Model Agency di Singapura tahun 1989, lalu dengan agensi yang lain di New York tahun 1990, dan di Milan tahun 1991. Laras pernah menjajal dengan agensi di Jerman dan Swiss. Kalau Kintan pada 1991 pernah bergabung dengan agensi model di Milan. "Sistem yang mereka terapkan sangat profesional, dan jaringannya di pelbagai negara," kata Kintan.

Cita-cita mereka mendirikan Ekspose-pun mengacu kesana. Agensi di bawah naungan PT Pentas Talenta Prana itu, semula berkantor di rumah kontrakn di Pejompongan, Jakarta, dengan hanya dua karyawan. "Diawal berdiri kami tidak meraih keuntungan, bahkan sering nombok," kenang Kintan. Toh, itu tidak membuat mereka kecut hati. Mereka memasarkan model-model Ekspose dengan cara yang cerdik, agak mirip dengan cara McDonald’s menjual bergernya. Mereka menjual paket hemat, yakni untuk pemakaian tiga model akan mendapatkan seorang model gratis - salah satu dari mereka bertiga (ratih-Kintan-Laras). Cara ini ternyata cukup berhasil. Ekspose pun makin dikenal oleh pemakai jasa, seperti biro iklan, koordinator fashion show, dan editor majalah mode.

Setelah setahun berjalan, Ekspose lalu membuka usaha yang masih ada hubungannya dengan usaha inti, yakni kursus modelling Ekspose Model Course, di bawah naungan Yayasan Ekspose Indonesia, yang diketuai Ratih. Pengajar tetapnya empat orang (Ratih, Kintan, Laras ditambah Dewi Yusuf yang sekaligus sebagai Kepala Sekolah. Jumlah tersebut masih ditambah 10 pengajar honorer, yang terdiri dari para desainer dan koreografer.

Dengan membesarnya usaha, Ekspose tidak lagi menempati kantor lama, tapi pindah ke Warung Buncit, Jakarta Selatan. Keberadaan kursus, demikian Kintan, adalah untuk menunjang kerja agensi. Dalam arti, setiap model yang ingin masuk ke Ekspose Model & Talent Management harus lulus dulu dari Ekspose Model Course. Kriterianya antara lain, berjenis kelamin wanita, tinggi badan 170 cm ke atas, berdisiplin tinggi dan memiliki table manner yang bagus. Selain itu, cantik atau menarik, dan memiliki sopan santun atau beretika yang baik.

Dua usaha ini, masih kata Kintan, juga masih proyek idealis. Sehingga segala sesuatunya dibuat dalam ukuran yang sangat ketat. Pemilihan model yang akan dikelalola, misalnya, haruslah mereka yang memiliki tinggi badan 172 cm ke atas, ukuran standar international. "Mencari wanita dengan ketinggian seperti ini di Indonesia kan sulit," kata Kintan. "Kalau mau sekadar cari uang, bisa saja kan kami terima siapa saja pasti laris," tambah lulusan OQ Modeling tahun 1987 itu. Persaingan di dunia mode semakin ketat. Sekolah model banyak bermunculan. Sementara itu, agensi memang belum ada yang dikelaola secara profesional seperti Ekspose - kecuali, dulu pernah dilakukan Tri Sudwikatmoko bersama Adjie Notonegoro dengan mensirikan Carrie Model, lisensi dari Singapura, tapi sekarang sudah almarhum.

Untuk menjadi yang terbaik, harus ada seleksi ketat sejak awal plus pembekalan yang cukup. Di kursus Ekspos, murid dibatasi hanya 10 orang. Dari penggodokan selama tiga bulan, paling-paling hanya 3-4 orang yang dianggap terbaik, dan bisa masuk ke agensi. Saat ini, jumlah model yang dikontrak Ekspose Model & Talent Management mencapai 16 orang. Semuanya wanita. Untuk pria dilakukan hubungan kerja secara freelance. Ekspose hanya menampung dan menyalurkan mereka ke para pemakai jasa. Lama kontrak dengan model wanita berlangsung selama setahun, setelah itu dipertimbangkan kembali perpanjangannya. Pemutusan hubungan dilakukan Ekspose kalau, misalnya, sang model tidak disiplin, atau tidak memiliki daya jual lagi.

Dalam memberlakukan tarif, Ekspose mematok harga yang berlaku umum. Untuk peragawati pemula tarifnya Rp. 175 - 350 ribu per show. Adapun peragawati madya Rp. 350 - 500 ribu per show. Untuk kelas model senior Rp. 750 - 1 juta/show. Setiap bulan seorang model biasanya mengikuti 2 - 3 kali peragaan busana. Terhadap mereka yang turun pada setiap show, kata Kintan, Ekspose menarik fee 20% dari tarif tersebut. Di luar itu Ekspose tidak menarik biaya-biaya lain. Namun jika yang meminta/memesan para model adalah agensi dari luar negeri, seperti baru-baru ini "Kami mengenakan fee 5% - 10% dari total tarif para model tersebut," ujar peragawati terbaik dalam pemilihan Top Model Rahadian Yamin itu.

Sebagai usaha, Ekspose, yang sudah memiliki jaringan untuk wilayah Singapura dan Australia itu, memang tidak besar. Pendapatan dari agensi cuma Rp. 8 juta/bulan. Dana tersebut terkuras untuk membayar gaji karyawan, listrik, air, dan lain-lain yang mencapai Rp. 4 juta/bulan. Sementara itu, kursus Ekspose yang menghasilkan Rp. 12 juta per triwulan, juga habis untuk sewa tempat dan gaji guru. Keuntungan yang lumayan besar baru bisa mereka dapatkan dari show-show tunggal yang mereka selenggarakan, minimal setahun sekali. Yang mendapat sorotan media massa adalah ketika mereka terlibat dalam penyelengaraan show tunggal Sebastian Gunawan di Gedung Kesenian Jakarta bertema Potret Hidup pada 1996.

Ketiga model beken ini akhirnya menyadari, agensi dan sekolah saja tidak cukup untuk membiayai idealisme mereka. Mereka berencana membuka kafe, salon dan studio foto. Yang disebut pertama, mulai diwujudkan pada 19 Juli 1997 bersamaan dengan pemakaian kantor baru berlantai empat seluas 4 x 44 meter di Wisma Iskandarsyah Blok M, Jakarta Selatan. Ekspose tidak lagi menyewa tapi membe;i ruko tersebut seharga Rp. 1,5 milyar, pinjaman dari bank.

Tujuan pendirian kafe yang diberi nama Ekspose Kafe dengan modal Rp. 200 juta ini adalah profit oriented. Itu sebabnya, untuk menjalankan tugas sehari-hari Ekspose mempekerjakan seorang manajer yang spesialis di bisnis kafe. Kafe dengan 18 orang karyawan itu tergolong laku. Di antara pengunjung terdapat nama-nama beken, seperti Adnan Buyung Nasution, Eros Djaros, Fariz RM, dan tentu saja para model top Indonesia. Tidak kurang dari 30 - 100 pengunjung setiap harinya, baik merayakan ulang tahun maupun sekadar nongkrong. Kintan tidak tahu persis berapa omzet per bulan kafe yang dikelolanya. Namun, ia menargetkan tidak kurang dari dua tahun bisa kembali modal. Setelah mendirikan kafe, langkah ketiga wanita jelita itu berikutnya: membuka salon., Agustus lalu. Jasa yang ditawarkan selain gunting-mengunting rambut, juga perawatan wajah dan tubuh. Jumlah karyawannya 6 orang. Salon bermodal Rp. 100 juta ini sekarang hanya melayami para model, tapi kelak akan dibuka untuk umum. "Sebab, tujuannya juga mencari keuntungan," kata Kintan, yang berkulit paling gelap diantara pendiri Ekspose itu. Yang sekarang belum diwujudkan, mendirikan studio foto. Rencananya, Ekspose akan bekerjasama dengan para fotografer profesional di bidang mode. - realisasinya tahun depan.

Langkah trio supermodel Indonesia itu, agaknya tidak terbendung. Kendati Ratih yang Nyonya Budi Sapta Zen sibuk mengurus keluarga. Kintan yang belum habis masa bulan madunya setelah disunting Fernando Heras, serta Laras yang repot dengan si mungil Allyssa, mereka tetap sepakat bekerjasama, saling bahu membahu memarakkan catwalk modelling Indonesia. Ada satu lagi yang saat ini mereka kerjakan, "Kami sedang menulis buku lengkap tentang modelling Indonesia," ujar Kintan. "Mudah-mudahan tahun depan bisa terbit.

Judul: LSM: AJANG PENGABDIAN, SUMBER PENGHASILAN

Sumber: Tabloid Peluang No. 34 - TAHUN I - 8 Juli 1999

Untuk apa mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)? Jawabannya bisa macam-macam. Tergantung kepentingannya. Tapi kalau sejak awal sebuah LSM berani mengklaim dirinya sebagai wadah perjuangan yang mengedepankan kepentingan rakyat, seyogyanya tak cuma jadi slogan.

Bukan rahasia lagi kalau ada sebagian LSM yang cuma jadi corong kelompok tertentu. Mereka memang punya program, tapi sebatas di ata proposal. Keberhasilan LSM jenis ini diukur dari tingkat kekritisan dan seberapa jauh suara mereka dipublikasikan di media massa. Tapi, lihatlah apa yang dilakukan LSM yang sepi dari sorotan lampu kamera dan gunjingan wartawan. Tanpa banyak cingcong, mereka terjun langsung di tengah persoalan sehari-hari dihadapi masyarakat. Mulai dari petani yang gundh karena hasil panen merosot, pengrajin yang bingung memasarkan karyanya, sampai maslah permodalan. CANALI, misalnya, sama sekalai tidak pernah bermimpi produknya bakal menembus pasar ekspor. Pengrajin seruling dan sempritan perkutut yang berdiam di kawasan kumuh ini kebetulan dipertemukan dengan Pekerti, sebuah LSM yang mampu menyelaraskan kepentingan sosial dan komersial. Selain Pekerti masih ada PUPUK, Bina Desa, Yaspuk yang juga banyak bersentuhan dengan pengusaha kecil yang sangat membutuhkan bimbingan, binaan dan uluran tangan. Merekalah yang sebenarnya layak diangkat ke permukaan.

Singkatnya, kendati berbentuk LSM, dalam kenyataannya Pekerti mampu memainkan peran dalam banyak segi, khususnya yang berkaitan dengan aspek bisnis.

"Setelah kami telusuri, persoalan mereka terbatas pada modal dan kualitas produk. Tapi, bagaimana kita mengajarkan mereka untuk melihat peluang pasar," kata Imam Pituduh, Direktur Utama Pekerti. Masalah pasar-utamanya para ekspor-sudah lama jadi prioritas lembaga yang mangkal di Cipinang Baru Bundar Raya, Jakarta Timur ini. Untuk itu, Pekerti tak segan-segan mengelar pameran di berbagai negara. Memalui ajang bergengsi itu, calon pembeli dapat menilai jenis dan kualitas produk.

Tahan selanjutnya adalah negosiasi harga. Begitu tercapai kesepakatam, Pekerti segera menghubungi pengrajin terkait. "Biasanya mereka kaget menerima order dalam jumlah besar, ekspor lagi," tutr Imam, 49 tahun.

Jaringan handicraft terintegrasi.

Sistem yang diterapkan Pekerti termasuk unik. Setiap pengusaha yang memperoleh order akan dibanti permodalnnya. Paling sedikit 50% dari nilai order. (lihat dari Jatinegara ke Canada). Tak heran bila Pekerti yang didukung 30 petugas lapangan, yang terbagi di sentra kerajinan seperti Yogyakarta, Lombok, Bali, Kalimantan, mampu membangun jaringan handicraft terintegrasi. Setelah barang diproduksi, pengrajin silakan mengirim ke Jakarta. Di tempat ini, kualitasnya akan dinilai. "Ada kalanya barang itu cacat sehingga terpaksa dikembalikan," ujar Imam, alumni IKIP Muhammadiyah Solo. Jagan salah, kendati tak memenuhi syarat ekspor, bukan berati tidak laku. Para pengrajin biasanya melempar produknya ke mal-mal atau kaki lima. Sejauh ini, hubungan Pekerti dengan usaha yang didampingi tak terlalu mengikat. Dengan kata lain, kalau si pengusaha mau menjual produknya tanpa lewat Pekerti, ya monggo. Di sinilah letak kelebihannya. Lebih dari itu, bagi usahawan yang kesulitan modal, Pekerti siap memberi bantuan. "Kami punya fasilitas itu. Syaratnya tidak rumit," lanjut pria asal Rembang, Jawa Tengah itu. Si pengrajin cukup mengajukan daftar kebutuhan lengkap dengan perkiraan dananya. Mudah, bukan?

DARI JATINEGARA KE CANADA

Usaha ini jarang dilirik pengrajin. Karena selain butuh keahlian, pasarnya terbatas. Namun, Canali tetap optimis.

Canali bukan orang terkenal, tampilannya sederhana, sesederhana produk yang dijajakan: Seruliang dan sempritan perkutut. Namun, semangat hidup pria berusia 53 tahun yang tinggal di ujung gang sempit dan kumuh di kawasan Jatinegara ini patut diteladani. Dengan segala kesabarannya, Nali - demikian panggilan akrabnya - ngider ke berbagai tempat. Mulai dari pasar burung Jatinegara, Taman Mini Indonesia Indah, Depok, Cipinang, hingga beberapa tempat perbelanjaan lainnya. "Sehari laku 10 seruling dan 50 sempritan saja sudah lumayan," ucapnya mengawali obrolan. Bagi Canali, seruling dan sempritan seolah sudah menyatu dengan gerak hidupnya. Ketika pertama kali jualan pada 1965, ia nongkrong di depan bioskop Jaya, Jl. Matraman Raya, Jakarta Timur. Meskipun ditawarkan dengan harga Rp. 350,-, pembeli yang berminat tak seberapa. Namun, ayah seorang anak ini tak putus asa. Sembari kerja sampingan sebagai peniup seruling di beberapa grup musik dangdut, Canali terus berdagang. Tapi, itu tidak lama karena ia kembali membuat seruling lantaran pesanan bertambah.

Berkenalan dengan Pekerti.

Setelah keliling ke berbagai tempat, pada 1989, tak disangka dia bertemu temannya, Zainal si tukang label. Mereka ngobrol ngalor-ngidul, mulai keluarga sampai bisnis. Kelanjutannya, Canali diajak Zainal ke kantor Pekerti, sebuah LSM yang banyak membantu pengrajin. Di situ Nali (biasa dipanggil sehari-hari) yang asli Ciamnggu, Bogor, mulai mengenal apa itu informasi pasar. Hubungan terus berlanjut. Malah, dengan dukungan Pekerti, Nali sempat menggelar dagangannya di PRJ, Kemayoran. Hasilnya, di awal 1990, ia ketiban pesanan 500 seruling dari Inggris. Dua meinggu kemudian 9 ribu sempritan perkutut minta segera dikirim ke Australia. Bahkan beberapa negara seperti Jerman dan Canada juga melayangkan pesanan serupa. Sungguh saat itu betul-betul membahagiakan. Berkat Pekerti, seruling yang selama ini cuma dijajakan di trotoar bisa melanglang buana ke mancanegara. Beberapa grup dangdut kondang juga menggunakan jasa Nali. Siapa yang tak bangga.

Pasar sudah ada, bahan baku berupa blarak (pelepah daun kelapa) tersedia dari Cibinong. Sementara bambu dipasok dari Sumedang dan Sukabumi. Tinggal masalah kualitas yang perlu dijaga karena harus standar ekspor. Yang jadi soal, begitu pesanan mengalir deras, Nali mengaku kelimpungan kekurangan modal. Sebagai pendamping, Pekerti tentu tak tinggal diam. Bantuan langsung mengucur. Begitu ada order, jebolan STM budi Utomo ini memperoleh 50% sebagai uang muka. "Sisanya dibayar pasca produksi," cerita Nali dengan wajah sumringah. Semangat suami Asiyah, 44 tahun, untuk berkarya makin terpacu seiring dengan meningkatnya order. Berturut-turut pada 1996 ada pesanan 500 seruling dan 4.500 sempritan dari Jerman. Setahun kemudian 3.600 seruling untuk Inggris. Dan pada tahun ini, lagi-lagi buyer dari Inggris memesan 1.500 seruling dan 1.000 sempritan dari Canada. Ada satu obsesi yang belum kesampaian. "Saya ingin bikin stock seruling dan sempritan, biar ngga keteter. Tapi. nggak punya duit," katanya kepada Zakiya Lifa Sakura dari PELUANG. Mungkinkah ada yang bisa membantu?

 

BERANGKAT DARI PERSOALAN LOKAL

LSM Bina Desa lebih memetingkan kelanjutan program dan aplikasinya.

Kehidupan petani dan nelayan memang tak pernah jauh dari kesulitan. Macam-macam bentuknya. Hari ini penen gagal, lain kali harga pupuk melonjak. Di saat yang lain musim tak bersahabat. Kalau sudah begitu, kemana nereka harus mengadu?

Syukurlah masih ada ina Desa (BD) yang cukup peduli dengan keluhan wong cilik ini. LSM yang berkantor di jalan H. Ubud, Otista, Jakarta Timur itu punya sejumlah program pengembangan masyarakat dan advokasi bagi petani dan nelayan. "Tapi, sementara ini baru petani yang jadi fokus kami," kata Nanang Hari Susanto, penanggung jawab divisi pengembangan.

Seperti halnya lembaga swadaya masyarakat yang berorientasi kerakyatan, BD siap menjadi pendaping kalau petani membutuhkan. Bukan hanya itu, LSM ini juga terlibat dalam pengorganisasian dan bantuan kredit. Petani yang kesulitan menjual hasil panen tak perlu khawatir. BD bersedia menjadi mediator. Sebagai contoh, di bawah bimbingan BD, para petani di Lampung berhasil mengaplikasikan denplot (proses pembuatan kompos). Hasilnya, mereka tidak terlalu tergantung pada pupuk buatan. Ujung-ujungnya biaya produksi bisa ditekan. Keuntungan yang didapat otomatis lebih besar. Di samping program yang sifatnya penyuluhan, BD juga didukung oleh Koperasi Karya Inza. "Programnya paralel dengan kami," tutur Nanang. Petani dan pengrajin bisa memanfaatkan fasilitas ini utnuk mengembangkan usahanya.

Sayangnya, kegiatan simpan pinjam tersebut sering disalahgunakan. Menurut alumnus Fakultas Pertanian Brawijaya, Malang ini, dana yang diterima banyak yang digunakan untuk kegiatan konsumtif. Ini yang membuat para pendamping dari BD bekerja ekstra keras.

Yang penting berkelanjutan.

Mengamati kiprah Bina Desa yang tersebar di 8 propinsi sungguh menarik. Seperti yang diceritakan Nanang, periode pengorganisasian BD berawal pada 1990. "Kami berangkat dari persoalan lokal," ucapnya. Ambil saja kasus di Ngawi, Jawa Timur. Masyarakat setempat rata-rata memiliki lahan 0,5 ha. Pada saat panen, petani bukannya menyambut dengan suka cita. Mereka justru kebingungan lantaran harga gabah jatuh. Setelah dikaji, penyebabnya terletak pada tingkat kekeringan gabah. Karena kurang kering, gabah tidak bisa disimpan terlalu lama. Di sini BD mengambil bagian. Begitu pula yang dialami petani cabe di Sukabumi, Jawa Barat. Namun, dari pengalaman selama ini, persoalan utama yang dihadapi petani tak jauh dari pupuk. Namun, target BD sendiri tidak terlalu ambisius. Asal kegiatan usaha tani bisa berkelanjutan dan mampu diaplikasikan di tengah masyarakat, itu sudah lebih dari cukup. "Kelompok dampingan itu hanya sebagai motor penggerak," ungkapnya tentang pola kaderisasi. Dengan cara ini, diharapkan akan lahir petani yang mandiri.

Sejauh ini, Bina Desa belum terlalu berhitung untung ruginya sebagai pendamping. Tapi, kalau para petani sudah merasakan manfaat nyata program pedampingan, ceritanya lain lagi.

 

KALAU KESULITAN, PASTI DIBANTU

Melalui program PUK, Yasppuk berusaha menumbukan kesadarn baru bagi ibu-ibu di pedesaan.

Sejumlah ibu0ibu, siang itu, berkumpul di rumah seorang warga. Jangan salah, mereka bukan sedang ngerumpi. Perempuan desa yang lugu ini justru sedang mendiskusikan sejumlah topik menari. Ada yang menjelaskan bagaimana membuat kripik rasa gadung. Di lain hari materi bahasan berubah jadi teknik merajut, membuat pola atawa belajar mengelola usaha warung. Singkatnya, hari-hari mereka terasa lebih bermakna. Tentu mereka tidak sendiri. Mereka dipandu oleh pendamping yang siap memberikan solusi. Kebetulan kali ini Yayasan Pendamping Perempuan Usaha Kecil (Yasppuk) yang punya gawe. Lembaga nirlaba ini cukup intens mendampingi pgrom perempuan usaha kecil (PUK) di daerah-daerah. Dengan dukungan 74 anggota dan sejumlah sukarelawan, Yasppuk menggarap 22 Kabupaten di 18 propinsi. Menurut Sekretaris Eksekutif Yasppuk, Titik Hartini, sejak didirikan pada 1994, pihaknya sudah mendampingi kurang lebih 10 ribu PUK, baik melalui pendekatan perorangan maupun kelompok. "Semula kami masih berupa clearing house. Baru dua tahun kemudian menjadi LSM hingga lebih leluasa geraknya," tutur Titik.

Sejak awal, Yasppuk memang meilih jalur pemberdayaan perempuan melalui kegiatan ekonomi. Di antranya memberikan penyuluhan cara mengajukan kredit, mengelola keuangan sampai menumbuhkan kesadaran bahwa perempuanpun bisa jadi pengusaha. Nah, ketika memasuki dunia usaha, mereka akan diberikan pengetahuan tentang produk yang layak jual dan punya nilai ekonomis bagi keluarga.

PENTINGNYA DUKUNGAN LSM LOKAL

Menjadi pekerja sosial seperti yang dilakukan Yasppuk dengan jaringan LSM lokalnya, memang banyak dilakukan LSM lain. Itu sebabnya, sistem jaringan yang sedang dibangun, tidak lain adalah untuk mengakses penguatan PUK baik dengan pendekatan psikologis, sosial, ekonomi mapun politik. Di sini, LSM lokal bertanggung jawab mengembangkan usaha yang sudah ada atau sebaliknya mencari alternatif usaha yang cocok dengan tipologi masyarakat. Karena itu, petugas lapangan banyak yang diambil dari daerah yang bersangkutan. Soalnya, "masing-masing daerah punya persoalan yang berbeda-bed," tutur perempuan berjilbab yang sederhana nan ramah ini. Dengan memanfaatkan pekerja lokal, masalah yang ada akan lebih mudah diidentifikasi. Begitu pula dalam pola kaderisasi bagi anggota PUK. "Nantinya, yang menyuarakan mereka adalah mereka sendiri. Bukan Yasppuk atau LSM-nya," ungkap Titik sambil menjelaskan pentingnya pengembangan divisi advokasi.

Menurut Titik, dukungan LSM lokal memang penting. Tanpa mereka, Yasppuk yang bermarkas di Jl. Lidi, Pondok Kelapa, Jakarta Timur akan kesulitan. Jadi peran lembaga tersebut lebihsebagai fasilitator. "Kami tidak hanya memfasilitasi LSM tapi juga anggotanya. Kalau ada yang kesulitan dana, pasti dibantu." ujarnya lagi. Setelah sekian lama mendalami PUK, Yasppuk menemukan banyak hal menarik. Kendati perempuan desa terlibat dalam kegiatan ekonomi, mereka tetap tak mampu melepaskan diri dari kodratnya. Kesimpulan Titik, "mereka menanggung beban ganda, yakni dari keluarga dan struktur yang cenderung mengabaikan keberadaan mereka." Makanya, jangan kaget kalau ada perempuan desa yang sukses membuka usaha, tapi tak pernah menonjol. Mereka menganggap kegiatan usaha hanya sebagai pengisi waktu. "Dengan begini saja sudah cukup," ujar Titik menirukan ungkapan keluguan mereka.

 

PUPUK BUKAN SEKADAR LSM

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan pengusaha kecil itu tidak gampang. Tapi, justru di situlah letak tantangannya.

Upaya pemberdayaan pengusaha kecil sejatinya sudah lama jadi ladang garapan LSM. Bahwa selama ini masih kurang bergaung, itu soal lain. Seperti yang dilakukan Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK). Lebih dari dua dasawarsa, lembaga ini bergulat dengan pengusaha kecil. Bantuan yang diberikan meliputi jasa konsultasi, pelatihan hingga pendampingan. Dengan pengalaman yang begitu panjang PUPUK mampu memetakan persoalan yang dihadapi usahawan kelas gurem. Masalah modal atau pasar ternyata bukan yang utama. Justru sumber daya manusia yang harus dibenahi lebih dulu. Sebab, "menumbuhkan jiwa kewirausahaan itu tidak gampang," cerita Mukti Asikin, Sekjen PUPUK. Maka, pilihan PUPUK menjadi LSM sekaligus konsultan bisnis yang dianggap sudah dijalur yang benar. " Kami mulai mensosialisasikan skema bisnis pada mereka," tutur Mukti, 43 tahun. Belakangan pihaknya juga memberikan fasilitas dana bagi yang membutuhkan. Artinya, pendekatan yang dijalankan PUPUK berbeda dengan LSM lain. "Kami ingin profesional dan konsisten," ucap Mukti lagi. Program pendampingan, misalnya dilakukan secara selektif. Tidak asal tubruk tanpa melalui riset lapangan.

Pada awalnya, fokus utama institusi yang wilayah kerjanya terbagi di 4 kota besar, Jakarta, bandung, Surabaya, dan Padang ini hanya yang berkaitan dengan industri logam dan tekstil. Namun, sejak empat tahun lalu, sektor agrobisnis termasuk yang dirambah. Yang menarik, ketika beberapa waktu lalu sejumlah LSM memproklamirkan diri sebagai lembaga independen yang membela kepentingan rakyat, PUPUK tak ikut-ikutan. "Ada paradigma yang harus diubah, baik di kalangan LSM maupun masyarakat," ungkap lulusan Carl Duisberg Centre, Jerman.

JANGAN HANYA ASAL NGOMONG

Bagi PUPUK, konsistensi program dan kontribusi nyata kepada masyarakat jauh lebih penting ketimbang cuma berkoar-koar. Pasalnya, masih banyak usahawan kelas gurem yang butuh uluran tangan. Dalam kaca mata Mukti, "yang paling penting saat ini adalah bagaimana mempersiapkan mereka agar mampu bersaing di apsar global," tuturnya. Makanya, program pendampingan PUPUK tidak gratis, tapi, ada "ongkos" yang harus dibayar oleh petani atau pengrajin yang didampingi. Dengan cara ini, mau tidak mau kedua pihak dituntut untuk serius. Susah dan senang, sama-sama dirasakan. Orientasinya juga jelas: profit oriented.

Jadi tak perlu heran kalau LSM yang menerapkan program seperti PUPUK bisa dihitung dengan jari. "Peran LSM dalam penguatan pengusaha kecil masih harus ditingkatkan," ujar Mukti yang sehari-hari aktif di CITN. Bahkan, dengan gamblang lulusan Antropologi UGM ini menyebutkan bahwa penguatan yang dimaksud seringkali agak klise. Padahal, kalau tahu selahnya, prospek usaha kecil itu sangat cerah. Maka wajar bila PUPUK sebagai lembaga swadaya masyarakat berupaya membangun sistem jaringan usaha kecil. Untuk itu, memang ada harga yang harus dibayar. "Kami kan bekerja secara profesional," lanjut Mukti memberikan alasan. Soal berapa biayanya, bisa diatur alias fleksibel. Pasalnya, petugas atau konsultan PUPUK terlibat langsung dalam pengelolaan usaha. Walhasil, kalau rugi, ya ditanggung bareng. Begitu pula kalau untung. Pola kemitraan ini terbukti efektif karena banyak mencetak pengusaha kecil yang tangguh.

 Warung Telekomunikasi (Warnet)

Sumber : Tabloid PELUANG

Edisi : No. 57/Tahun II/16 Desember 1999

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Persaingan dunia internet ternyata juga melanda beberapa perusahaan milik negara. Salah satunya adalah PT Pos Indonesia yang memiliki Wasantara net(W-net). Selain sebagai internet service provider (ISP) W-net juga memiliki warung internet yang masih dikelola sendiri. Namanya warung pos dan internet (warposnet). Saat ini, jaringan W-net sudah mencapai 103 kota yang terbesar di seluruh Indonesia. Sekitar 60% jaringannya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Meski demikian, seluruh ibukota propinsi sudah tercakup dalam jaringan ini. Menurut Agus F. Handoyo, Asisten Manager Tehnik dan Informasi PT Pos Indonesia, dengan jumlah cabang sebanyak itu BUMN ini telah memiliki akses terluas dibanding ISP lainnya di Indonesia. Cuma saja, members yang memakai aksesnya, baru sebatas pemakai internet perorangan (Personal Computer) dan perusahaan (coorporation).

"Sementara ini, W-net belum menawarkan pemakaian akses jaringan untuk penyelenggaraan warung internet," kata Agus. Hingga kini, pengembangan warnet dari akses yang disediakan PT Pos masih dalam bentuk warposnet. Pengelolaannya, ditangani langsung oleh perusahaan ini.

Warposnet sendiri sudah dikembangkan di hampir semua kantor pos besar seluruh Indonesia. Di antarnya juga ada beberapa wilayah Dati II yang potensial. Di Jabotabek, menurut Otto Murdianto, rekan sejawat Agus, sudah tersebar tak kurang dari 12 warposnet yang kapasitas workstation-nya antara 4 hingga 30 unit. Jumlah member personalnya saat ini sekitar 3000 orang untuk sejabotabek. Sedang member corporation-nya baru berjumlah 20 perusahaan. "Saat ini, kami sedang mengkaji kemungkinan untuk penyelenggaraan warnet umum dalam bentuk kemitraan. Soal realisasinya masih menunggu persiapan yang matang," ujar Agus.

Ada lima paket biaya

Menurut Otto, selain untuk menjelajah informasi yang tersedia di dunia maya ini, para member personal W-net juga menggunakan aksesnya untuk komunikasi dua arah. Sementara luasnya cakupan jaringan W-net dibanding ISP lainnya, tentuk cukup menguntungan bagi perusahaan yang operasionalnya skala nasional. Terutama untuk perusahaan yang cabangnya ada ditiap wilayah Dati II. Dengan menggunakan jaringan Wasantara net mereka bisa lebih menghemat biaya untuk pulsa telepon. Karena, kemungkinan memakai pulsa interlokal makin kecil," ujar Otto. Kalau pun ada pemakaian pulsa interlokal, biayanya relatif kecil. Sebab jarak antar titik jaringan relatif dekat.

Masih menurut Otto, dengan menggunakan sarana akses W-net, sebagian perusahaan yang menjadi anggota, lebih efisien baik waktu maupun biaya operasional antar cabang. Terutama bagi perusahaan yang cakupannya nasional. Misalnya, operasional dalam sistem keuangan, pelaporan, aplikasi usaha, dan komunikasi antar cabang lainnya. Bagi pengguna personal computer (PC) maupun perusahaan, tersedia lima paket biaya tarif pemakaian jaringan per bulan. Paket-paket tersebut antara lain tarif jasa jaringan W-net dial up, dial up digital, pelayanan khusus, permanen dan paket home page & iklan mini.

Besar tarif bervariasi. Calon pengguna bebas memilih salah satu paket yang ditawarkan dan akan disepakati sebelum mulai pemakaian. Kalau tak mengambil paket tersebut? "Ya, dia dikenakaan biaya tarif standar. Besarnya, Rp.2.400 per jam untuk pelanggan," kata Otto. Sementara tarif bagi penggunaan warposnet, standarnya adalah untuk 15 menit pertama Rp.2.000. Kemudian tiap 10 menit berikutnya sebesar Rp.1.500. Jika dihitung-hitung seorang pengguna harus membayar Rp.9.500 untuk pemakaian sekitar 65 menit. Menurut Agus, pendapatan Wasantara net dari pembayaran pelanggan personal (pengguna PC) dan corporation (yang sebagian besar LAN) cenderung meningkat tiap tahunnya. Namun, untuk pendapatan dari operasional warposnet cenderung menurun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan total omzet selama tiga tahun ini menurun dari 90% menjadi 60%. Kondisi tersebut, menurut Agus, semata-mata karena belum maksimalnya alokasi teknologi dan prasarana PT Pos Indonesia untuk pengembangan warposnet. Jadi, bukan karena peminat yang memakai warposnet menurut.

Jurus Jitu Usaha Warnet

Mendirikan usaha warnet, ternyata lebih mudah ketimbang mendirikan wartel. Tak perlu harus mendirikan PT segala. Seorang calon usaha warnet tinggal menghubungi provider seperti IBM, CBN, PT Indosat, PT Pos Indonesia, atau lainnya. Pengurusannya bisa dilakukan secara langsung, via telepon, atau melalui e-mail, tergantung kebijakan masing-masing perusahaan. Namun, secara umum ada beberapa hal yang perlu dicermati.

Siapkan modal. Dana adalah modal yang terpenting dalam membuka usaha jasa peranti canggih ini. Dana yang dikeluarkan untuk membuka usaha ini, bisa dimulai dari Rp.50 juta atau lebih. Tergantung berapa banyak komputer yang ingin dipasang, dan seberapa besar keinginan pemilik warnet bakal memanjakan pelanggan.

Lokasi. Ada baiknya, calon penyelenggara terlebih dahulu mensurvei lokasi yang akan digunakan. Strategis atau tidak, lihat pasarnya, lalu lintasnya, dan lain-lain. Dari banyak pengalaman para pemilik warnet, tempat yang paling strategis adalah disekitar lingkungan kampus.

Setelah itu, calon penyelenggara harus mengukur kemampuan permodalan yang dimiliki, dan seberapa besar ia akan memanjakan pelanggan dengan berbagai sarana tambahan. Dengan ini, paling tidak bisa memperkirakan berapa komputer yang akan terpasang. Begitu juga dengan besarnya biaya untuk pembangunan tempat dan sarana penunjaang lainnya.

Kalau semua sudah dalam perhitungan yang matang, selanjutnya calon penyelenggara tinggal mengurus izin usaha ke RT, Desa, dan Pemda.

Analisis Keuntungan : Usaha Warung Internet

A. Investasi

Sewa tempat setahun + perakitan perangkat Rp.10.000.000

3 Unit komputer @ Rp.6.000.000 Rp.18.000.000

Total Investasi Rp.28.000.000

B. Pendapatan

Jika satu komputer, ada 5 penyewa setiap hari @ Rp.10.000/jam

3 x 5 jam x Rp.10.000 x 30 hari = Rp.4.500.000

C. Pengeluaran

Pulsa tiap bulan @ Rp.4000/jam x 8 x 30 Rp.960.000

Telepon Rp.100.000

Listrik Rp.300.000

Gaji satu orang karyawan Rp.200.000

Perawatan Rp.300.000

Total Pengeluaran Rp.1.860.000

D. Keuntungan = (B-C)

Rp.4.500.000 - Rp.1.860.000 = Rp.2.640.000

Catatan: Jika omzet stabil, dalam setahun sudah BEP

Abdul Kholis/Zakiya Lifa Sakura

 KEMBALI KE MENU PELUANG USAHA