Jutaan Rupiah dari Kamar 9 m2

Sumber: Tabloid Peluang

Edisi: No. 30 Tahun I. 10 Juni 1999


Usaha toko kelontong kelihatannya sepele. Namun, bila dikelola dengan baik, hasilnya lebih dari lumayan.

Di toko kelontong, semua barang yang menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari dan harganya terjangkau, bisa dijual. Usaha ini bisa dilakukan di rumah dengan modal relatif kecil dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Selain itu, barang yang dijual pilih yang relatif awet sehingga tidak diburu waktu untuk menghabiskannya.. Perputaran barang atau Inventory Turn Over (ITO) untuk setiap barang tentu berbeda-beda. Ada yang sangat cepat seperti minyak goreng. Ada juga yang lambat seperti materai.

Namun, kalau menggunakan rata-rata ITO, usaha ini biasanya dihitung selama 10 hari. Hal ini berarti omzet per hari sebesar 10% dari persediaan barang. Jika persediaan barang sejumlah Rp.5 juta, maka omzet sekitar Rp.500.000,- per hari. Keuntungan kotor yang diambil biasanya sekitar 10% dari harga pokok. Jika omzetnya Rp.500.000/hari, keuntungan kotor mencapai Rp.50.000,-. Sehingga dalam satu bulan akan diperoleh keuntungan Rp.1,5 juta.

Modal yang dibutuhkan bagi usaha ini tidak besar. Untuk usaha awal dibutuhkan modal sekitar Rp.6,3 juta. Rinciannya, Rp.5 juta untuk persediaan barang (modal kerja), Rp.1 juta untuk etalase, sedangkan selebihnya untuk sewa tempat dan biaya operasional lainnya. Jika persediaan modal awal tidak mencukupi, bisa saja persediaan barang diperkecil. Tapi jangan kurang dari Rp.2 juta. Kalau kurang, dikhawatirkan akan memakan modal. Buntutnya, toko terancam bangkrut. Untuk mencoba usaha ini, sebaiknya dipilih lokasi yang padat penduduk dan tidak ada toko sejenis dalam radius 50 meter. Jika diasumsikan satu rumah rata-rata 50 meter persegi, maka akan ada calon konsumen sekitar 150 rumah. Seandainya bisa melayani 100 rumah dan setiap rumah membelanjakan Rp.5.000,-/hari, berarti omzet terkumpul Rp.500.000,-/hari. Ini memang hanya hitungan kasar. Namun, dari pengalaman tidak terlalu sulit untuk mencapai omzet sejumlah itu. Barang-barang yang dijual biasanya "barang terang". Artinya, barang pabrik yang harganya jelas. Sehingga perubahan harga atau selisih harga akan cepat diketahui oleh konsumen. Jangan coba-coba menaikkan harga atau berbeda harga dari toko sejenis, karena hal ini akan menyebabkan konsumen lari. Frekuensi belanja (kulakan) sebaiknya 2-3 hari sekali. Dengan sistem ini barang yang terjual belum terlalu banyak dan uang yang terkumpul sudah cukup memadai untuk dibelanjakan lagi.

Bila belanja lebih dari 3 hari, barang yang terjual sudah terlalu banyak, sehingga penampilan toko akan "gersang" (kurang barang). Ini akan tidak menarik bagi konsumen. Sebaliknya, kalau belanja setiap hari, tidak efisien baik dari segi waktu maupun biaya operasional. Urusan piutang perlu diwaspadai. Utang piutang dalam bisnis itu biasa, tapi harus ada batasnya. Kalau terus-menerus memberi utang tanpa kontrol yang baik, lambat laut akan menumpuk, roda bisnis akan terganggu. Toko sebaiknya dibuka antara pukul 06.00 sampai pukul 21.00. Atau kurang lebih 15 jam sehari. Jika toko dijaga sendiri, wajar kalau merasa capek. Namun, bila hal ini diterima dengan perasaan ringan, tidak akan jadi masalah. Sembari menunggu warung, bisa mengerjakan yang lain, misalnya membaca, menyulam, mengasuh anak, dan sebagainya. Pokoknya bisa dikerjakan dengan santai.

Mengkonsumsi sendiri barang dagangan akan sulit untuk dihindari. Jika kurang berhati-hati, hal ini bisa menyebabkan kebangkrutan. Oleh karena itu biasakan mencatat barang yang terpakai dan kontrolah jangan sampai terlalu banyak barang yang tidak terpakai.

BMT (Kiriman Aisyah Achyar, Bogor)

Analisis Keuntungan: Usaha Toko Sederhana

Kebutuhan Awal

A. Investasi:

- Etalase Rp.1.000.000,-

(Penyusutan selama 24 bulan = Rp.41.700/bln)

B. Modal Kerja Rp.5.000.000,-

C. Biaya operasional per bulan:

- Sewa tempat Rp.150.000,-

- Tenaga kerja Rp. 75.000,-

- Tranport Rp. 75.000,-

- Lain-lain Rp. 25.000,- (+)

Total Biaya Operasional= Rp. 325.000,-

Total Modal Awal (A+B+C) = Rp.6.325.000,-

D. Pendapatan per bulan

- Omzet Rp.500.000 x 30 hari = Rp.15.000.000,-

- Keuntungan kotor 10% x Rp.15.000.000,- = Rp.1.500.000,-

E. Keuntungan bersih D - (C+A)

Rp.1.500.000 - (Rp.325.000 + Rp.41.700) = Rp.1.133.300,-

 

Musim Semi’ Keranjang Parcel

Hari Natal dan Lebaran memberikan harapan bagi para pedagang keranjang parcel. Mereka bersiap menjelang hari tersebut dengan ribuan unit dagangan di Cikini.

Oleh Nina Ariefa

Hari Natal dan Hari Raya Idul Fitri identik dengan hantaran ke sanak saudara dan handai taulan. Berbagai jenis parcel – dari yang berisi makanan hingga peralatan dapur – telah menunggu untuk dipindahtangankan. Jelas penyedia jasa parcel bakal ketiban rejeki.

Kesempatan ini rupanya ditunggu para pedagang keranjang parcel yang mangkal di kawasan Cikini. Ibarat musim, saat menjelang natalan dan lebaran adalah musim semi yang penuh harapan. Mereka menggelar dagangan yang terdiri dari berbagai bentuk keranjang itu di depan Pasar Cikini, atau tepatnya di bawah Stasiun Cikini, Jakarta Pusat.

Tidak mengherankan jika Anda melewati kawasan itu ribuan keranjang siap menunggu konsumen. Area bawah stasiun yang biasanya sepi – hanya beberapa kios toko yang aktif membuka dagangan – kini padat dengan keranjang yang terbuat dari rotan, bambu, bahkan kayu. Kadang keranjang ini mengkombinasikan bahan bakunya dengan besi ataupun rami. Lengkap. Anda tinggal pilih, mau yang besar atau kecil.

"Dulu sekali pedagang dari Surabaya, Jawa Tengah, dan bahkan pembeli luar pulau ikut memborong disini, tapi sekarang kok tidak lagi. Mungkin karena daerah tersebut sudah memproduksi sendiri," tutur Mamad, salah seorang pedagang keranjang yang memulai usahanya di tahun 1975.

Para pedagang ini mengaku memasok dagangan ke berbagai swalayan dan penyedia jasa parcel, disamping menjual untuk konsumen perorangan yang datang ke Cikini.

"Saya memasok untuk Nabila dan Gift Parcel. Mereka setiap minggu rutin ngambil dagangan saya," kata pedagang lainnya yang biasa dipanggil Buyung.

Harga keranjang parcel ini bervariasi, dari yang Rp3.000 hingga Rp.20.000, semuanya ada. Tentu saja harga ini dipengaruhi oleh bahan baku dan besar kecilnya keranjang parcel yang dijajakan. Tak perlu khawatir. Mereka menawarkan dagangan dengan harga yang rasional. Paling kalau Anda menawar harga, turunnya pun nggak jauh-jauh.

Musiman

Sebenarnya pada hari-hari biasa, area bawah Stasiun Cikini praktis sepi. Beberapa kios memang membuka dagangan, dari buah hingga majalah, tapi selebihnya lebih banyak kios tertutup rapat. Bahkan di bagian belakang kita lebih sering melihat kumpulan tuna wisma memanfaatkan lorong-lorongnya untuk melepas lelah.

Tapi situasi ini secepat kilat berubah menjelang natalan atau lebaran. Jangankan lorong stasiun, para pedagang keranjang parcel ini bahkan ada yang mendirikan tenda di area parkir stasiun.

"Semua pedagang keranjang ini adalah penduduk Kelurahan Cikini Ampiun," ujar Mamad. Ia menjelaskan dagang keranjang ini memang tergantung musim. "Kalau tidak musimnya, ya kami-kami menekuni profesi sehari-hari," tutur laki-laki berusia lanjut ini yang sehari-hari berjualan koran dan majalah di tangga Stasiun Cikini.

Hal ini dibenarkan oleh Buyung. Ayah tiga anak ini ketika ditemui mengaku setiap harinya berprofesi sebagai sopir Kopaja 68, rute Kampung Melayu – Kampung Rambutan. "Nah kalau musim seperti ini, saya pamit nggak narik. Juragan ngerti kok, bahkan ia meminjamkan modal dagang," tutur buyung gembira.

Memproduksi dan Menjual

Mamad dan Buyung termasuk pedagang yang rajin memproduksi sendiri dagangannya. Mereka biasanya memanfaatkan kayu ramin, "Kita beli kayunya di Buaran Klender. Sedangkan anyaman bambunya kami membeli dari pedagang Tasik (Tasikmalaya, red)," ujat Mamad.

Tahun ini, Mamad mendapatkan pesanan dari swalayan Gloria Pluit sebanyak 500 buah. "Kalau dulu sewaktu Gloria memiliki 4 swalayan, pesanan sampai 3.000 unit," tuturnya sambil menerangkan bahwa swalayan yang bersangkutan 3 tokonya hancur terkena musibah saat kerusuhan Mei 1998.

Untuk modal berdagang Mamad mengakui keterbatasannya, "Saya cuma modal 3 juta rupiah saja." Dari modal itu, sebagian besar ia belikan bahan baku kayu ramin, sedangkan sebagian yang lain ia belikan keranjang rotan jadi yang dipasok dari perajin Cirebon dan Curug.

"Saya hanya menyediakan 200 unit keranjang rotan karena modal saya cekak. Berbeda dengan Pak Kondang, tuh yang keranjang rotannya menggunung," katanya sambil menunjuk lokasi berdagang rekannya yang penuh dengan keranjang rotan dari berbagai bentuk.

Namun tampaknya modal bukanlah alasan banyak atau sedikitnya dagangan. Haji Iskandar misalnya mengaku modalnya tidak banyak-banyak sebagaimana yang diperkirakan orang. "Duit dari mana? Nggak, nggak sampai 50 juta lah," tutur Iskandar alias Kondang.

Boleh dikata Kondang inilah pedagang keranjang parcel yang paling besar. Ia mendatangkan keranjang rotan dari Cirebon dan Curug. "Tidak semuanya saya bayar di depan, paling-paling 30%-nya. Sisanya biasanya diminta dua hari sebelum lebaran," jelas Kondang menuturkan kiatnya.

Saling Bekerjasama

Meski ada pedagang besar dan kecil berkait dengan skala usaha mereka, tapi nyatanya kerjasama tetap terjalin dengan harmonis diantara mereka. "Kami saling mengisi kok," tutur Kondang. Ia menjelaskan, ketika konsumen membutuhkan model keranjang tertentu - yang ia tidak punya - maka bisa saja dirinya mengambil dagangan rekan lainnya. Begitu juga sebaliknya. Tentu saja hasil keuntungan dibagi dua sama banyak.

Demikian pula jika konsumen telah masuk ke area dagang tetangga, maka pedagang lain tak berhak iri, apalagi dengki.

"Mungkin karena saling kenal ya, kan kami dari kelurahan yang sama," ujar Mamad ringan.

Kondang sendiri mengaku tidak memproduksi keranjang parcel. Ia merasa cukup dengan menjajakan sekitar 6.000 unit keranjang rotan dari berbagai ukuran.

"Biarlah rekan-rekan lain memproduksi yang dari kayu ramin," tuturnya.

Mudah Memproduksi

Sebenarnya proses pembuatan keranjang parcel dari kayu ala Mamad dan Buyung cukup mudah. Mereka biasanya sudah memiliki model tertentu, dari keranjang jinjing hingga keranjang susun.

"Tapi Nabila Parcel memesan yang bulat begini sebanyak 100 buah," ujar Buyung menunjuk keranjang bulat yang sedang digarap asistennya.

Kayu ramin yang berharga Rp250 tiap 60 cm itu dipotong sesuai kebutuhan. Potongan kayu direkatkan dengan paku sesuai model yang diinginkan. Untuk pemanis kadang pedagang menambahkan sedikit anyaman bambu. Jadi.

"Saya bayar mereka sesuai jumlah keranjang yang dibuat," tutur Buyung dan Mamad dalam kesempatan berbeda. Honor pembuatan tergantung besar kecilnya keranjang. Besarnya antara Rp1.000 hingga Rp2.500 per keranjang.

"Rekan-rekan ini saya datangkan dari kampung," ujar Buyung yang asli Ciamis. Buyung punya kiat khusus dalam membayar tenaga kerjanya, "Mereka bersedia menyimpan honornya kepada saya sampai nanti saatnya membutuhkan. Jadi saya bisa memutar dulu uang itu untuk modal," kata Buyung.

Sedangkan Mamad mengaku mengerahkan tiga orang saudaranya untuk tenaga kerja. "Dalam waktu tiga hari mereka bisa menghasilkan 25 keranjang susun," katanya.

Meski musim pembelian keranjang parcel ini diperkirakan hanya sampai lebaran tiba, tapi Buyung optimis sesudah lebaran dagangannya masih laku, "Soalnya, ada saja mereka yang kekurangan, jadi pasti masih ada yang beli." Bahkan dari penuturan Buyung, kadang pada saat tepat hari Raya Idul Fitri, dimana pedagang libur dua hari, para penyedia jasa parcel tak jarang ‘memaksa’ mereka untuk memproduksi keranjang, guna mengejar pesanan. Konsekuensinya, harga bisa melonjak duakali lipat. "Mereka mau kok," tutur Buyung.

Bagaimana jika stok tidak habis? "Yah, tinggal disimpan saja di rumah buat musim mendatang," ujar Buyung enteng. Meskipun demikian, baik Buyung maupun Mamad yakin musim ini keranjang mereka bakal habis terbeli konsumen.

KEMBALI KE MENU PELUANG USAHA