Strategi Pemasaran Dalam Krisis Moneter: Faktor Sukses Utama Memasuki Pasar Global
Bahasa Indonesia text and English abstract, by Bob Widyahartono
In the Japanese vocabulary
crisis is "ki-ki". The first "ki" means danger while
the second means opportunity. Facing crisis one should be willing to
make a self assessment on the competence as well as his or her strengths
and weaknesses, opportunities and threats (SWOT). To paraphrase Peter
Drucker, the international guru of management, effective people are not
problem-minded; they are opportunity-minded. They feed opportunities and
starve problems. Leadership which is a critical factor in organization
to overcome crisis decides what "first things" are, while
management follow-up with "first things first". The present
monetary crisis in which we are all facing need our serious attention.
Businesses are challenged to make an assessment of their existing
strategy entering the future trend. The successful person has the habit
of doing the things failures don't like to do. Here lies the challenges
to turn the dangers into opportunities.
Dalam pernyataannya dalam The Straits Times, 6 Desember 1997, Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, tatkala mengumumkan kebijakan komprehensif untuk mengatasi kemelut ekonomi yang dihadapi negarany antara lain "We must accept the economic reality, if we act like don't have problems, we will be in bigger trouble". Bagaimana dengan Indonesia dan bisnis kita? Mau tak mau harus kita akui bahwa lemahny kebijakan persaingan (competition policy) menyebabkan kompetensi dan daya saing mengadi tidak memperoleh fokus. Selam 6 Pelita, baru kali ini Indonesia mengalami guncangan krisis ekonomi - moneter yang tidak ada bandinganya. Aneh, tapi benar, krisis tersebut bagi banyak kalangan bisnis datang mendadak dan menimpa semua perusahaan besar, kecil tanpa pandang bulu. Bahkan perusahaan milik negara (BUMN) yang relatif memiliki posisi khusus (monopoli, proteksi dan lain-lain) ikut terjengkang juga. Krisis tersebut juga menghapuskan mitos "fundamental ekonomi kita kuat", dan pertumbuhan kita diatas rata-rata negara Eropa dan Amerika Serikat. (Sesungguhnya, para pakar ekonomi seperti Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, Mari Pangestu, Syahrir, Tulus Tambunan dan lainnya termasuk penulis sudah sejak awal 1996 menberi isyarat agar kita semua memiliki kepekaan yang tinggi karena fundamental ekonomi kita tidaklah sekuat yang diperkirakan untuk laju pertumbuhan ekonomi) Sampai kinipun para pakar ekonomi dan moneter belum dapat memutuskan sebab-musabab krisis tersebut, terutama yang menyangkut kurs rupiah berbanding dollar AS. Perusahaan raksasa seperti Grup Salim, Grup Bakrie, Grup Ciputra, dan lain-lain yang relatif mempraktekkan teori dan manajemen mutakhir. Ikut terhempas dan terengah-engah meneruskan eksistensi perusahaannya. Apalagi nasib perusahaan kecil, semua jadi bingung. Yan menjadi pertanyaan, apakah krisis memacu praktek bisnis profesional dengan stategi pemasaran yang terfokus memasuki pasaran global atau justru menarik diri dari persaingan global? Sekalipun berada di tengah krisis bisnis mau tidiad mau apalagi yang berkiprah dalam pasaran global harus terus meningkatkan kemampuan bersaingnya. Kemampuan itu adalah kesanggupan untuk bisnis memenangkan pangsa pasar atau minimal mempertahankan pangsa yang sudah dimilikinya. Dari sudut pandang pasar global kemampuan ini adalah daya tarik (attractiveness) suatu produk atau jasa yang membuat pelanggan global memilih produk atau jasanya diantara banyak pilihan yang tersedia. Apa saja unsur-unsur daya tarik yang menpengaruhi pilihan itu dari sudut pandang pelanggan? Empat faktor yaitu: Mutu (Quality), Harga (Price), Penyerahan (Delivery) dan Jasa Pelayanan (Service). Dengan keempat faktor itu mutu yang ditawarkan haruslah sepadan dengan ekspetasi pelanggan dalam membayarkan harga dalam arti adanya nilai tambah dan penyerahan tepat waktu sesuai kesepakatan dan jasa pelayanan purna (after sales service) yang bermutu tanpa pengorbanan yang mengakibatkan harga menjadi tidak bersaing, karena itu efisiensi dalam perhitungan harga pokok merupakan syarat untuk mampu menyajikan harga yang memberi nilai tambah bagi pelanggan. Dengan kemampuan bersaing, suatu bisnis dapat memperoleh keunggulan bersaing (competitive advantage). Proses untuk memperoleh keunggulan ini merupakan perjuangan tersendiri apalagi dalam pasar global yang tiada proteksi. Keunggulan ini dalam situasi nyata adalah membalikkan pilihan yang diketahui (converting informed choice) kedalam tindakan yang tepat waktu dengan cara yang lebih menjamin dibandingkan pemecahan yang pesaingnya agar lebih berkualitas dalam pemasarannya. Persaingan adalah ibaratnya perang. Para direktur dan manajer pemasaran dalam era globalisasi memasuki suatu era persaingan total. Mereka itu memasuki suatu era dimana memenangkan persaingan akan menjadi makin sulit. Mereka ditantang dan diuji secara jelas kemampuan mereka untuk merumuskan strategi bersaing dan memperoleh (generate) kapabilitas bersaing nyata dan berlangsung lama. Persaingan demikian itu terjadi disemua industri baik manufaktur maupun jasa. Kecendrungan integrasi ekonomi internasional mendorong dunia bisnis untuk beradaptasi. Kebijaksanaan ekonomi yang semakik terbuka sesuai dengan tuntutan globalisasi membuka peluang bagi dunia bisnis untuk tumbuh menjadi makin berkualitas dengan efisiensi dan tentunya kompetitif fungsi bisnis yang berkepentingan dalam menunjang adaptasi itu dengan lingkungan eksternal adalah pemasaran (marketing). Sebelum masa kritis itu dari perspektif marketing internasional, bisnis telah berhasil beralih dari kegiatan pemenuhan pasar domestik ke pemasaran ekspor dan bahkan diharapkan makin bisa berperan dalam persaingan internasional. Akhir-akhir ini terdapat proyeksi semakin menurunnya tingkat ekspor non-migas. Salah astu argumentasi adalah bahwa banyak bisnis nasional kita tidak memperkuat jaringan (network) bisnis internasional dan kompetisi internasional kompetisi pemahaman atas pasar internasional. Kurangnya pemahaman ini karena mereka bergantung pada jaringan distibusi internasional yang dikendalikan perusahaan negara - negara industri maju (Amerika, Jepang dan Eropa) dan negara industri baru Asia (Singapura, Hongkong, dan Taiwan), selain it minimnya penugasan intelijens pemasaran (marketing intelligence) pasar global. Kemampuan untuk intelijens pasar global bagi bisnis baik dalam manufaktur maupun jasa (perbankan, pariwisata, rumah sakit dsb), merupakan salah satu faktor kekuatan untuk meraih peluang pasar. Lagi, perkembangan kearah liberalisasi perdagangan, sebagai mana disepakati dalam putaran terakhir GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dengan dibentuknya WTO (World Trade Organization) memperbesar peluang perdagangan dan pasar. Kita semua akan ikut dalam penurunan atau penghapusan hambatan tarif. Kalau kita mau menelaah diri, maka peluang pasar global tidah hanya bisa diraih oleh bisnis berskala besar saja, tetapi justru yang berskala menegah dan kecil proses ini membutuhkan kompetisi sumber daya otak yang mengelola pemasaran setiap bisnis. Tepatkan kita ini mengangap fenomena krisis ini adalah jangka pendek sifatnya. Sesungguhnya suatu bisnis berhasil lolos atau tidaknya dari krisis moneter yang tengah melanda kawasan Asia tenggara termasuk Indonesia ini, bukam merupakan perjuangan jangka pendek saja tetapi justru berjangka panjang. Inilah yang disebut pemikiran strategis dengan wawasan visioner (strategic thinking with vision). Berstrategi jangka panjant berarti pula melakukan penataan ulang manajemen secara menyeluruh termasuk organisasi, sistem dan budaya korporatnya. Suatu pendekatan menyeluruh dan integral. Aspek jangka pendek dari krisis perlu memperoleh fokus perhatian. Banyak bisnis memasuki suasana terjebak kebingungan, saling menyalahkan, dan saling mencurigai apalagi kalau pemilik bisnis tidak tegar untuk memberi fokus dalam krisis ini. Bisnis tidak boleh kehilangan fokus sebagai strategi dan saat-saat krisis ini. Kepanikan dalam suasana yang memang tidak menentu membuat suasana bisnis makin runyam. Karena itu akal sehat haruslah terus menjadi kendalinya. Justru kinilah saatnya bisnis melakukan penataan ulang bisnis mereka dengan mengingat bahwa kini tidaklah mungkin lagi Indonesia menerapkan "broad spectrum" dalam mendorong ekspor dan melakukan globalisasi. Sejak tahun 1996 Kadin Indonesia menyampaikan gagasan agar diterapkan kebijakan yang berfokus "komoditi andalan" dalam memperkuatkan kinerja ekspor non-migas Indonesia memasuki tahun - tahun mendatang. (Lihat tabel) Bisnis dalam era globalisasi akan diselenggarakan oleh individu dalan kerjasama tim yang datap membaurkan; 1. Keuletan bernegosiasi dengan wawasan (vision), 2. Kesabaran dengan kekerasan hati (tenacity) dan 3. Fleksibilitas dengan fokus. Bisnis melintasi jarak, keanekarangaman lingkungan dan waktu. Kondisi ini tidaklah akan berhenti karena adany krisis karena dalam dunia yang cepat berubah, kecepatan dan tekad (speed and passion) merupakan aset yang tidak boleh diabaikan apalagi dalam membaurkan ketiga kondisi ini dengan tetap memegang teguh ketenangan sikap agar tidak terbawa oleh sikap "coba-coba" atau "me-too". Bersaing dan berhasil dalam lingkungan global yang dinamis berarti bagi SDO-nya (Sumber Daya Otaknya) haruslah inovatif selalu siap untuk menanggapi perubahan yang cepat. Inovasi bukan sebagai subtitusi kerja keras melainkan inovasi itu adalah kerja dengan cerdas (work smart not work hard). SDO yang bagaimana yang patut idbuat kredibel? Memasuki abad 21 SDO yang dibutuhkan apalagi dalam era penuh turbulensi dan krisis adalah mereka yang senantiasa memiliki visim tidak cepat putus asa, inovatif/kreatif, cekatan memanfaatkan teknologi yang dibutuhkan bisnisnya, dan yang sangat penting berkerjasama dalam tim dengan kredibilitas yang andal. Kredibilitas itu diukur atas dasar 6 K : Keyakinan (conviction), Karakter (character), Kepedulian (care), Keberanian (courage), Ketenangan bersikap (composure), dan Kompetensi (competence). Dalam realitasnya harus diakui bahwa bisnis kita masih jauh dari global. Internasionalisasi bisnis baru pada suatu upaya yang seringkali dilakukan secars setengah hati (atau coba-coba). Karena itu, kinilah justru dalam situasi krisis perlu para CEO dan manajernya melakukan penilaian diri (self assessment) untuk dapat lebih berbobot dalam menata ulang strategi bisnis memasuki dan bertahan dalam globalisasi. Sebuah ungkapan yang menarik dalam majalah The Asian Manager (August - September 1995) yang mungkin luput dari perhatian kita patut kita renungkan kembali "…The capacity to learn more rapidly than the competition will be the only sustainable competitive advantage… make learning a basic corporate value central to your company culture… The leader is the pilot who creates this vision for the company's future and is the keeper of the corporate culture who ensures that the core values are reserved as a powerful guiding force…" Apa yang bisa dicapai melalui proses pembelajaran itu? Minimal para strategi pemasaran akan memiliki portofolio ketrampilan yang mampu memberi bobot dalam kredibilitas memasuki pasaran global. Portofolio ketrampilan itu mencakup : 1. Kemampuan bernalar secara logik (reasoning) dengan mengembangkan ketegasan berwawasan dalam berargumentasi yang didukung oleh informasi lingkungan bisnis 2. Komunikasi bisnis yaitu kemampuan membaca, menafsirkan laporan dan informasi dari lingkungan. Selain itu kemampuan menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tertrulis secara sistematik. Kefasihan dalam Bahasa Inggris menjadi syarat dalam komunikasi bisnis internasional. 3. Ketrampilan lintas budaya. Keandalan berinteraksi dengan aneka ragam budaya, gaya menajemen/bisnis negara lain. 4. Kerja sama dalm tim baik intern maupun dalam aliansi strategik dengan mitra bisnis. Dunia bisnis sedang menghadapi lingkungan persaingan yang cenderung makin turbulen, jauh berbeda dengan kecenderungan masa lalu. Sering terlontar anggapan bahwa entitas bisnis tidak lagi berkelanjutan (discontinued). Dalam lingkungan yang makin turbulen, persaingan tidak lagi tenang, tetapi gonjang ganjing dan bahkan mungkin berzig-zag dan bersalto sehingga tanpa bertanding sekalipun potensi para pemain untuk kalah menjadi makin besar. Karena itulah dalam memfokus ulang diri pada tujuan, bisnis perlu kredibilitas dan integritas makin memilih substansi menghadapi turbulensi termasuk krisis.
|
© Bob Widyahartono, Asia Pacific Management Forum and Orient Pacific Century 1999
Melompati Parit`, Bagaimana Caranya?
Hermawan
Kartajaya
Akankah WAP layu sebelum berkembang? Ada yang bilang terlalu dini ngomong
seperti itu. Karena, sekarang pengguna WAP baru berada di early market.
Sehingga, kalau edukasi pasar dilakukan dengan benar, WAP akan sukses melompati
parit (crossing the chasm). Namun, yang lain bilang, WAP memang tidak akan punya
kesempatan berkembang. Alasannya? Meski publisitas dan komunikasi pemasaran WAP
begitu gencar dilakukan banyak pemain -- artinya edukasi pasar berjalan begitu
gencar -- tanggapan pasar adem ayem saja. Atau dalam bahasa Geoffrey Moore, WAP
akan sulit melompati parit.
Mana yang benar? Melompati parit bagi banyak pemasar seperti teka-teki hidup. Ada yang bisa dengan mudah melakukannya. Namun, banyak yang tidak pernah berhasil. Secara gampang orang bilang, yang bisa menyeberangi parit dianggap sukses mengedukasi pasar. Sementara yang gagal, dianggap gagal mengedukasi pasar. Sayangnya, banyak orang kemudian hanya berhenti di situ. Alias, tidak berusaha mencari tahu kenapa ada yang gagal dan kenapa ada yang berhasil. Apalagi, berusaha mencari tahu bagaimana agar bisa terus-menerus berhasil melompati parit.
Dalam bukunya, Crossing the Chasm ataupun Inside the Tornado, Moore mengatakan, upaya produk baru menyeberangi parit pada dasarnya tidak mudah dilakukan. Kenapa? Karena, ada perbedaan 180 derajat antara dua pasar di seberang parit. Yang satu, yang berada di early market (mereka yang pertama pengguna produk baru) adalah kelompok visioner. Yang lain, yaitu yang berada di mainstream market (mereka yang "terlambat" menjadi pengguna produk baru) adalah kelompok orang pragmatis.
Ciri-ciri kelompok visioner: intuitive, support revolution, contrarian, break away from the pack, follow their own dictates, take risks, motivated by future opportunities dan seek what is possible. Sementara ciri-ciri kelompok orang pragmatis: analitic, support evolution, conformist, stay with the herd, consult with their colleagues, manage risks, motivated by present problems dan pursue what is possible. Dalam bahasa yang gampang, menurut Moore, visioner adalah orang yang melihat dengan mata tertutup, sedangkan seorang pragmatis adalah orang yang melihat dengan mata terbuka.
Kenapa? Sebab, visioner berani bertaruh pada sesuatu yang bakal datang. Adapun seorang pragmatis mesti melihat ada-tidaknya solusi yang sedang dibuat sebelum mereka akhirnya memutuskan membeli produk baru tersebut. Dalam kasus WAP, orang-orang yang sekarang sudah menjadi pengguna memang punya keyakinan tinggi bahwa era mobile systems bakal segera datang. Sehingga, mereka pun merasa perlu segera membiasakan diri lebih dulu dengan menjadi kelompok pertama pengguna. Sementara kelompok orang pragmatis, mereka yang ingin melihat bahwa WAP memang sudah memberikan berbagai solusi kepada mereka. Seperti yang diberikan I-mode-nya NTT DoCoMo. Kalau mereka melihat WAP memang belum memberikan solusi, mereka tidak akan menggunakannya.
Bukan hanya itu "kerepotan" dalam menghadapi kelompok orang pragmatis. Selain berjumlah besar, mereka heterogen. Terus terang, inilah letak "kerepotan" terbesar. Kenapa? Sebab, daftar solusi yang dibutuhkan pun jadi banyak. Akibatnya, banyak produk yang ingin sukses menyeberangi parit kemudian berusaha bisa memberikan solusi yang banyak agar bisa mengakomodasi semua kelompok orang pragmatis. Dan bukan hal yang mengherankan kalau kemudian banyak produk baru yang gagal. Karena, akhirnya tidak bisa memenuhi harapan semua kelompok orang pragmatis.
Moore mengakui, kelompok orang pragmatis memang sangat heterogen. Karenanya, agar sukses menghadapi mereka, ia menganjurkan untuk menempuh dua tahapan: the bowling alley dan the tornado. Bowling alley, adalah tahapan untuk membuka mata salah satu kelompok visioner bahwa produk baru itu memang memberikan solusi pada mereka. Karena itu, tahapan bowling alley ini seperti memilih target pasar terhadap solusi yang bisa diberikan produk baru. Setelah sukses melewati bowling alley, kemudian bisa masuk tornado. Lalu, di mana edukasi pasar dilakukan?
Baik di bowling alley maupun tornado, edukasi harus dilakukan. Tentu, dengan penekanan yang berbeda. Di tornado, suatu produk bisa mengandalkan kelompok orang pragmatis lain, yaitu yang berada di bowling alley, membantu mendidik pasar, sehingga cepat menjadi pasar. Boleh dikata, kegagalan sejumlah produk baru melewati parit sering kali karena mereka tidak bisa mengidentifikasi bowling alley dan tornado. Akibatnya, edukasi pasar yang dijalankan pun bertepuk sebelah tangan.
Formula 40/40
R
Eko Indrajit
Peter Clark dalam bukunya netValue mengatakan bahwa era euforia bisnis
dotcom telah usai pada kuartal I/2000, sejalan dengan ambruknya nilai saham
perusahaan berbasis maya di Nasdaq. Ia memberikan istilah NetPhase-I pada
masa-masa tersebut. Pasalnya, keberhasilan beberapa perusahaan berbasis Internet
semacam Yahoo.com dan Amazon.com kala itu telah memacu banyak perusahaan di
dunia untuk turut menyemarakkan arena bisnis di dunia maya dengan berbagai model
bisnisnya.
Perusahaan-perusahaan berbasis maya biasanya karakteristiknya hampir sama. Didirikan oleh beberapa orang muda, dengan impian dapat segera IPO agar dihargai pasar jauh melebihi nilai bukunya, atau dengan kata lain dapat mengeruk keuntungan besar dengan waktu yang sangat cepat. Sejumlah besar modal ventura pun ditawarkan secara jorjoran oleh berbagai kalangan di dunia, yang menyebabkan makin membesarnya bubble stocks. Namun, ketika terjadi over supply perusahaan dotcom, gelembung itu pun akhirnya pecah, sehingga tidak terhitung berapa ratus ribu karyawan di dunia yang akhirnya terpaksa kehilangan pekerjaan, sejalan dengan gulung tikarnya sejumlah perusahaan dotcom. Hampir semua bernasib sama, yaitu terjadi pendarahan pada arus kasnya.
Melihat fenomena ini, Clark menganjurkan agar segera melupakan semua hal buruk di masa lalu dan mulai berkonsentrasi pada periode baru (pasca 14 April 2000) yang diistilahkannya NetPhase-II. Pada periode ini, perusahaan-perusahaan dotcom harus lebih pragmatis dalam menyusun strategi bisnis.
Dari berbagai nasihat yang diberikannya, ada satu hal yang menarik dicermati, yakni diperkenalkannya kiat Formula 40/40. Formula ini merupakan panduan bagi perusahaan -- baik konvensional maupun dotcom -- yang memutuskan terjun ke dunia maya dengan cara memanfaatkan medium Internet dan pelbagai jenis teknologi informasi (TI).
Angka "40" yang pertama merupakan ukuran yang harus dikaji perusahaan, dapatkah TI menggantikan pelbagai access channel tradisional, sehingga paling tidak 40% penetrasi pasar dapat dikuasai teknologi online ini. Access channels adalah berbagai cara yang dapat dipergunakan perusahaan untuk dapat berinteraksi dengan pelanggannya, baik untuk membangun relasi maupun berbisnis (transaksi jual-beli). Jika trennya memperlihatkan bahwa berbagai peranti TI -- semacam PC, notebook, PDA, ponsel dan mesin ATM -- dapat menggantikan metode interaksi konvensional tatap muka, sehingga diperkirakan 40% dari penetrasi pasar dapat diraih lewat peranti ini, segmen industri tersebut layak dimasuki oleh pemain bisnis maya.
Namun, hal itu belum dianggap cukup untuk mendatangkan keunggulan kompetitif bagi perusahaan, sehingga muncullah angka "40" yang kedua.
(Diagram terlampir)
Dari minimum 40% penetrasi pasar pada segmen industri tersebut, paling tidak perusahaan harus yakin bahwa yang bersangkutan dapat menguasai paling tidak 40% dari pangsa pasar bisnis online sejenis. Jika perusahaan merasa yakin dapat memenuhi kriteria Formula 40/40, yang bersangkutan dinilai dapat berhasil melakukan bisnis di dunia maya. Secara matematis, sebenarnya angka minimum yang diharapkan adalah 33,33% (1/3 dari 100%) untuk kedua aspek di atas. Namun, dengan menaikkannya menjadi 40%, faktor risiko yang dihadapi akan semakin kecil.
Bagi pendatang baru maupun pemain lama, yang mengembangkan bisnis maya melalui beragam jenis e-business -- semacam B2B (business-to-business) atau B2C (business-to-consumer) -- jika tidak yakin akan dapat memenuhi tuntutan Formula 40/40, lebih baik mulai berpikir ulang bila ingin menginvestasikan dan mengalokasikan sumber daya finansialnya.
Penulis adalah pengamat dan pengajar TI
Kelas Dunia
dan Harmoni Pasar
Pertumbuhan, stabilitas, dan
efisiensi membutuhkan arena kelembagaan yang harmonis untuk menghasilkan suatu
bangunan ekonomi yang kokoh. Bagaimana peran politik dalam menciptakan dunia
usaha yang kokoh?
Bagaimana perusahaan kelas
dunia bisa lahir?
*Faisal H.Basri
SECARA sederhana, suatu per-usahaan
dapat dikategorikan ber-kelas dunia kalau menjadi salah satu pelaku utama di
suatu indus-tri. Keutamaan yang diperolehnya bisa ka-rena pangsa pasar
perusahaan tersebut cu-kup berarti dan/atau memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam penentuan harga di pasar. Makin utama lagi seandainya per-usahaan tersebut
menjadi trend setter di lingkungan industrinya. Lazimnya perusa-haan jenis ini
beroperasi di pasar oligopo-listik ataupun monopolistik. Dengan defini-si ini,
berarti hanya segelintir perusahaan yang berpredikat kelas dunia.
Pengertian yang lebih
longgar ber-laku untuk perusahaan-perusahaan yang mampu bersaing di pasar
internasional se-cara berkelanjutan. Perusahaan-perusahaan sejenis ini mampu
untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Paling tidak,
perusahaan mampu memper-tahankan pangsa pasarnya dengan berto-pang pada landasan
yang kokoh karena memiliki kompetensi dalam harga dan kualitas.
Kompetensi harga terbentuk
dari kemampuan berekspansi sampai pada tingkat produksi yang optimal, yaitu pada
tingkat yang menghasilkan biaya rata-rata jangka panjang yang terendah. Setiap
jenis usaha memiliki tingkat optimal yang ber-beda-beda. Misalnya, perusahaan
listrik dan telekomunikasi umumnya mencapai tingkat optimal pada skala produksi
yang sangat besar tatkala kurva permintaan memotong kurva kos rata-rata (average
cost) yang masih sedang menurun. Karakteristik demikian dijumpai pada kasus
monopoli alamiah.
Sementara itu, kompetensi
kualitas akan diperoleh dari kemampuan perusahaan untuk selalu memperbarui
produknya lewat proses invensi atau inovasi. Hal ini akan terjadi jika
berlangsung kegiatan riset dan pengembangan (R & D) yang melembaga dan built
in dalam proses produksi.
Hakikat pembangunan adalah
mem-bentuk manusia-manusia atau individu-individu otonom, yang memungkinkan
mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara
optimal. Dari sini, muncul keberagaman dan spesialisasi, sehingga menyuburkan
pertukaran (exchange) atau transaksi. Inilah yang menjadi landasan kokoh bagi
ter-wujudnya daya saing nasional dalam meng-hadapi persaingan mondial. Transaksi
tak lain merupakan perwujudan dari interaksi antarmanusia dengan segala
keberagaman dan kelebihan masing-masing. Perbedaan merupakan refleksi dari
keberadaan manu-sia yang membedakannya dengan mahluk-mahluk laindengan
free will yang diper-olehnya dari Sang Pencipta. Ada pun hasil dari transaksi
atau interaksi tersebut adalah kesejahteraan sosial (social welfare)
seba-gaimana dijanjikan oleh prinsip keunggulan komparatif (comparative
advantage).
Kesejahteraan sosial
terwujud mela-lui tercapainya kemakmuran (prosperity) yang berkeadilan
(justice). Demokrasi ada-lah prasyarat terpenting untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial yang berkeadilan. Format baru pembangunan ekonomi Indonesia untuk
menghasilkan perekonomian yang kompetitif tidak boleh lagi memisahkan di antara
keduanya, tapi harus padu (built in) dalam strategi dan setiap kebijakan
pem-bangunan. Pemerintahan Orde Baru menge-depankan jargon زPembangunan
ekonomi yes, politik no.س Ini
sebagaimana dikenal dalam kerangka pemikiran developmental state yang kerap
dipraktekkan rezim-rezim otoriter di negara-negara berkembang.
Pengejawantahannya tercermin
dari trilogi pembangunan (pertumbuhan, stabili-tas, dan pemerataan). Ketiganya
bercampur baur di dalam satu wacana, yaitu wacana ekonomi. Dengan demikian,
tampak sekali bahwa memang wacana politik cenderung dikebiri.
Kokohnya bangunan kemakmuran
ditopang oleh kualitas dari tiga pilar yang melandasinya, yaitu pertumbuhan,
stabili-tas, dan efisiensi. Pilar pertumbuhan meru-pakan sisi penawaran (supply
side) yang keberlangsungannya ditentukan tiga faktor utama, yakni model, tenaga
kerja, dan tek-nologi. Ketiga faktor ini diramu pengusaha untuk menggerakkan
roda produksi. Mere-ka terdiri atas pengusaha kecil, menengah, ataupun besar.
Bangun usahanya bisa be-rupa koperasi, swasta, ataupun badan usaha milik negara
(BUMN). Para aktornya bisa pula dikelompokkan ke dalam sektor tra-disional dan
sektor modern ataupun sektor informal dan sektor formal.
Sosok perekonomian dan
dinamika pertumbuhan bisa pula ditinjau secara sektoral sebagaimana dapat
ditelaah dari struktur produksi suatu perekonomian. Baik struktur produksi
maupun komposisi para aktornya selalu berubah sejalan dengan pergeseran pada
komposisi faktor-faktor produksi, pening-katan kualitas sumber daya ma-nusia,
dan perubahan teknologi.
Tinjauan spasial akan
melengkapi pemahaman terhadap sosok perekonomian secara lebih lengkap. Dari
tinjauan ini, tergambarkan persebaran kegiatan ekonomi berdasarkan lokasi:
antarpropinsi, Jawa versus luar Jawa, ataupun Kawasan Barat Indonesia versus
Kawasan Timur Indonesia.
Peningkatan daya per-tumbuhan
membutuhkan suatu proses yang kompleks dan multidimensional. Oleh karena itulah,
perspektif pengembangan daya pertumbuh-an selalu ditempatkan dalam kerangka jang-ka
panjang. Dengan perkataan lain, upaya melakukan perubahan struktural terhadap
komposisi sektoral dan spasial ataupun para aktornya tak bisa dengan jalan
pintas.
Pilar kedua dari kemakmuran
adalah stabilitas ekonomi. Rezim Orde Baru juga menekankan pentingnya stabilitas
sebagai-mana tergambarkan pada trilogi pemba-ngunan, tapi penekanannya lebih
pada sta-bilitas keamanan. Faktor-faktor yang mem-pengaruhi stabilitas ekonomi
lazimnya di-kelompokkan ke dalam sisi permintaan (demand side). Misalnya,
komponen-kom-ponen konsumsi privat (private consumption), investasi, pengeluaran
pemerintah, serta ekspor dan impor, yang saling ber-interaksi melalui variabel
nilai tukar, suku bunga, dan tingkat harga. Komponen-kom-ponen ataupun
variabel-variabel tersebut bisa dipengaruhi dalam kurun waktu yang relatif cepat.
Karena itu, sisi permintaan ini diperlakukan dalam perspektif keseimbang-an
jangka pendek.
Pilar ketiga, yaitu
efisiensi, merupa-kan proses yang menentukan apakah proses interaksi antara sisi
penawaran dan per-mintaan berlangsung secara optimal. Sisi penawaran akan
menggeliat dengan topang-an kokoh seandainya didasarkan pada pola keunggulan
komparatif, sehingga memung-kinkan alokasi sumber daya yang efisien. Sementara
itu, sisi permintaan akan me-nunjukkan sosok yang dinamis dan fleksibel terhadap
terhadap perubahan-perubahan yang berasal dari lingkungan internal atau-pun
eksternal.
Agar ketiga pilar tersebut
mengha-silkan suatu bangunan ekonomi yang ko-koh, dibutuhkan suatu arena
kelembagaan (institutional arena) yang memungkinkan seluruh elemen dari sisi
penawaran ber-interaksi dalam suatu irama yang harmonis. Pada suatu orkestra,
keharmonisan ditentu-kan seorang dirijen. Maka, harmoni dalam segala pergerakan
di sisi penawaran dan permintaan serta interaksi di antara kedua-nya yang
menjamin efisiensi ditentukan sinyal yang disampaikan pasar. Pasar inilah yang
merupakan institutional arena.
Sebelumnya dikemukakan bahwa
kemakmuran harus seiring dan seirama dengan keadilan. Terwujudnya keadilan juga
ditopang tiga pilar utama. Ketiganya adalah kebebasan individu (freedom), tertib
sosial (social order), dan pemerataan (equity). Ada pun institutional arena
untuk menjamin kokohnya bangunan keadilan adalah good governance. Jika pasar
meru-pakan kendaraan terbaik untuk mewujud-kan bangunan kemakmuran, good
governance bisa diibaratkan sebagai pengemudi yang andal dari kendaraan tersebut.
Seandainya sosok kedua
bangunan di atas sudah terbentuk, akan terjadi suatu sinergi antara kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat (community). Tak akan ada lagi tempat bagi
kebijakan yang mengatasnamakan demi kepentingan nasi-onal tapi dalam
kenyataannya hanya meng-untungkan orang per orang atau sebaliknya.
Dari pemaparan di atas,
dapat di-simpulkan bahwa besar-kecilnya skala per-usahaan ataupun
kategori-kategori lainnya tidak cukup relevan dalam menentukan be-sarnya
kontribusi bagi penyehatan pereko-nomian. Kekokohan sosok dunia usaha lebih
bergantung pada proses dinamika di pasar dalam suatu lingkungan politik yang
demokratis. Sehingga memberikan akses kesempatan yang sama bagi semua pelaku
dalam mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.
Penulis adalah pengamat ekonomi.
Zaman Edan
Pujangga Jawa Ronggowarsito pernah menulis syair
khusus tentang zaman edan. Maknanya kira-kira: Di zaman edan bila tak
ikut edan tak akan kebagian, tapi semujur-mujurnya orang edan, masih lebih
beruntung orang yang ingat dan waspada. Membicarakan zaman edan memang
tak harus ikut edan. Yang penting kita tahu bahwa zaman edan adalah zaman
yang tak lazim. Zaman yang penuh dengan ketidakpastian, diluar kemampuan
nalar dan pengalaman. Semua sistem berjalan di luar kendali manusia.
Prediksi tak bisa dilakukan karena alternatif dan probabilitasnya sangat
tidak terbatas. Serba mungkin, sekaligus serta tak mungkin. Manusia tak
ubahnya sepotong kayu hanyut di arus sungai yang deras. Bingung, tak
berdaya, pasrah, apatis. Ini gawat. Padahal kalau mau masih ada cara untuk menerobos dan keluar
dari zaman edan. Makfudin Wirya Atmaja (konsultan manajamen)
mengklasifikasikannya sebagai cara holistik dan cara parsial. Cara
holistik seperti dipaparkan Jansen H. Sinamo (ahli etos kerja) berarti
membenahi semua sektor kehidupan. Tinggal memilih persepsi kerja, yang
batik atau yang benar. Sulit memang, tapi awet. Cara parsial
merehabilitasi bagian per bagian dari totalitas kehidupan. Cocok untuk
jangka pendek dan lebih praktis. Gede Prama (konsultan manajemen)
menyarankan perluasan paradigma. Manusia harus selalu meningkatkan
kreativitas dan melakukan inovasi. Hermawan Kartajaya (pakar pemasaran)
memberi formula Speed, Knowledge, dan Guan-xi (Trust and Relationship),
sebuah terobosan pemasaran. Steve Asikin (praktisi keuangan) menyarankan
pembenahan sektor keuangan dengan memperbanyak uang giral dan Andrias
Harefa (praktisi motivasional) mengingatkan bahwa kegagalan yang banyak
dialami manusia di zaman edan merupakan proses penting untuk menambah
kualitas kesuksesan. Sintesa skematis dari Makfudin Wirya Atmaja mungkin
bisa mempermudah Andan untuk memahami pemikiran-pemikiran bernas dari
beberapa ahli tadi. Bila harus diringkas dalam satu kalimat, topik ini menyajikan inspirasi, informasi dan solusi sekaligus. Dan semua itu untuk Anda, agar tak ikut edan dan bisa keluar dari krisis multidimensional ini dengan berkah, selamat dan sejahtera. Perception is more important than reality Jika anda suka mencermati dunia industri dan management, tentu anda tahu siapa Bapak Hermawan Kartajaya. Dalam filosofi bersaing di dunia industri dan memasarkan sebuah produk, pakar pemasaran dan bos MarkPlus Professional Service ini meyakini pernyataan berikut: "Perception is more important than reality " Berikut adalah analisa saya pribadi, dalam memasarkan sebuah produk, langkah pertama yang harus dirancang dan dimenangkan adalah peperangan persepsi untuk merebut calon konsumen dalam segmentasi dan target pasar yang dibidiknya secara berkelanjutan, jika kemudian peperangan tersebut dapat dimenangkan maka positioning yang ada pada produsen dapat tersampaikan dengan baik pada konsumen atau pelanggannya dan bisnis dapat berhasil. Sebaik apapun produk yang ditawarkan pada calon pelanggan, jika peperangan persepsi tidak dapat dimenangkan terlebih dahulu, maka produk tersebut akan sangat sulit untuk dijual, sebaliknya jika peperangan persepsi tersebut dapat dimenangkan maka seburuk apapun produk tersebut, produsen akan dapat bernyanyi "Menghitung Untung" setiap hari. Secara ideal tentunya persepsi apa yang hendak disampaikan dan dimenangkan dalam benak pelanggan adalah sama atau minimal tidak terlalu berbeda jauh dalam kenyataannya. Apakah dengan demikian kita dapat berkata bahwa itu adalah suatu bentuk penipuan atau mengelabui pelanggan? Tidak ! Persaingan ketat dalam dunia industri, menuntut semua produsen harus semakin pintar dan cerdas (smart producers) dalam memenangkan pasar atau dengan kata lain dapat mengungguli atau menang dari produsen lainnya dalam merebut pelanggan yang secara ideal harus tetap berada dalam koridor etika bisnis yang sehat tentunya. Di sisi lain, calon pelanggan/konsumen berada pada posisi yang sangat rentan untuk menjadi ‘korban’ dari persaingan bisnis yang sangat ketat tersebut diatas jika mereka tidak mulai belajar kritis untuk menjadi smart customers, karena tidak dapat disangkal bahwa hanya orang ‘pandir’ (fool people) saja yang dapat menjadi korban dari orang pintar (smart people) dalam segala hal.
PERSAINGAN SEMAKIN KERAS Pos Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan yang komplit mengalami evolusi lingkungan persaingan. Dalam perjalanan panjang bisnisnya, Dia mengalami beragam pola persaingan mulai dari yang “underdeveloped” di mana tangan-tangan regulasi pemerintah dan berbagai bentuk hak monopoli demikian dominan, hingga pola persaingan yang “advance” dan canggih dimana pesaing pun bahkan sangat sulit dilihat dan diidentifikasi seperti yang terjadi saat ini. (Pemahaman tentang pengertian ini dapat dibaca secara lengkap dari buku Hermawan Kartajaya, Marketing Plus 2000,jilid 1 s.d 6). Situasi yang dihadapi Pos Indonesia ini bisa terjadi karena memang dia berada di suatu industri yang perubahan lingkungan bisnisnya begitu cepat dan dinamis. Praktis semua unsur perubahan lingkungan bisnis dimaksud, mulai dari perubahan dalam pemanfaatan teknologi, regulasi dan kebijakan pemerintah, dinamika lingkungan ekonomi makro, pergeseran-pergeseran pasar, agresivitas gerak pesaing, hingga berubahnya perilaku konsumen, bergerak demikian cepat dan sangat dinamis dari waktu ke waktu. Situasi persaingan yang dihadapi Pos Indonesia bergerak dari stabil saat monopoli secara penuh ada di tangan; ke situasi persaingan yang interupted saat pemain-pemain kecil seperti pengelola bis malam dan perusahaan kurir ilegal mulai masuk; ke complicated begitu pemain-pemain kecil tersebut menjadi besar dan kokoh; kemudian ke sophisticated saat pemain global seperti FedEx, UPS, DHL, dll secara ekspansif mulai masuk; dan akhirnya chaotic seperti yang dihadapinya saat ini, saat teknologi telekomunikasi-informasi-multimedia mulai mengobark-abrik bisnis pos. Perubahan situasi
persaingan itu (perubahan lingkungan bisnis) dalam konsep 4cs (four C
analisys) disebut sebagai faktor change. Change bergeser dengan lambat
atau cepat, dari tidak ada sama sekali perubahan; kemudian mulai muncul
secara gradual; lalu mulai terlihat continous saat pesaing merubah
teknologi yang dipakainya, dan globalisasi mulai muncul; baru kemudian
menjadi discontinous saat strategi pesaing makin canggih, teknologi
berkembang pesat, dan globalisasi makin menguat; lalu terakhir perubahan
menjadi demikian mengejutkan dimana gejala-gejala-nya semakin sulit
dideteksi. Richard D’Aveni, seorang strategy guru, menamakan situasi
terakhir ini dengan istilah yang begitu populer kira-kira lima tahunan
lalu, Hypercompetition. Di samping itu, pada saat itu perubahan lingkungan yang dihadapi Pos Indonesia tersebut, baik perubahan kondisi ekonomi, regulasi pemerintah, perubahan teknologi, dinamika pasar, maupun kondisi konsumen, semuanya relatif konstan-konstan saja. Stabilnya lingkungan bisnis ini masih diikuti dengan pola pengelolaan Pos Indonesia sendiri yang masih jauh dari layaknya pola pengelolaan perusahaan. Tak mengherankan, karena posisi Pos Indonesia saat itu lebih dominan sebagai lembaga pemerintah yang melayani kepentingan umum ketimbang perusahaan yang berorientasi kepada profit. Begitu ekonomi Indonesia dibenahi sekitar akhir tahun 1960-an, perusahaan-perusahaan di luar Pos Indonesia mulai menyelenggarakan jasa perposan, baik jasa pengiriman surat, paket, maupun layanan keuangan yang terutama banyak dilakukan oleh industri perbankan. Munculnya berbagai perusahaan pesaing ini tak dapat terelakan lagi mengingat prospek bisnis pos memang sangat bagus dan tumbuh dengan pesat selama kurun waktu tersebut. Mulai saat inilah tekanan persaingan dirasakan oleh Pos Indonesia walaupun memang tingkat persaingannya belum begitu intensif. Perusahaan-perusahaan yang bermunculan tersebut umumnya masih berskala kecil di bandingkan Pos Indonesia sehingga ancaman mereka masih kurang dirasakan. Hal ini juga ditunjang oleh lingkungan bisnis yang walaupun sudah cukup dinamis namun masih kondusif dan bisa dikelola oleh Pos Indonesia. Memasuki era tahun
1980-an lingkungan persaingan berubah dengan cepat seiring dengan semakin
melonjaknya jumlah pesaing dan mulai banyaknya perusahaan dengan kekuatan
yang semakin besar. Di sinilah Pos Indonesia mulai merasakan tekanan
persaingan yang semakin besar. Celakanya, semakin kerasnya persaingan ini
rupanya diikuti dengan mulai dipretelinya satu-persatu hak monopoli yang
selama ini dikuasainya. Perusahaan antaran
dalam kota (business city courier) misalnya, kini bebas saja mengantarkan
surat-surat yang seharusnya hanya menjadi wewenang Pos Indonesia menurut
ketentuan monopoli pos. “Sejak kira-kira akhir tahun 1980-an business
city courier ini begitu marak bermunculan di kota-kota besar seperti
Jakarta atau Surabaya. Perusahaan-perusahaan yang umumnya kecil-kecil ini
bisa bebas dan seenaknya mengantarkan surat yang seharusnya menjadi hak
kami, tanpa kami bisa mengusiknya”. Dengan lingkungan ekonomi global yang sangat kondusif ini, perusahaan-perusahaan multinasionalpun dengan cepat menyabet peluang yang muncul. Mereka memanfaatkan momentum ini untuk meluaskan ekspansi ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita tahu perusahaan multinasional ini memiliki modal, teknologi, jaringan, dan strategi yang canggih, sehingga keberadaan mereka di Indonesia tak hanya mengancam perusahaan lokal, tapi lebih jauh lagi juga semakin memperumit pola dan situasi persaingan. Pada tahun 1990-an ini pula teknologi telekomunikasi, informasi, dan multimedia berkembang demikian revolusionernya, di luar perkiraan orang lima atau sepuluh tahun sebelumnya. Berbagai kemajuan teknologi tersebut telah melahirkan berbagai bentuk media dan peralatan baru yang mengancam keberadaan dan kelangsungan bisnis yang selama bertahun-tahun ditekuni Pos Indonesia. Teknologi Internet misalnya telah melahirkan e-mail yang memungkinkan orang berkomunikasi secara jauh lebih efisien, cepat, dan murah dibandingkan suratpos konvensional. Kemajuan dalam teknologi electronic fund transfer juga telah melahirkan Automated Teller Machines (ATMs) yang kini keberadaan semakin dirasakan mengancam weselpos yang selama berpuluh tahun menjadi salah satu nadi bisnis Pos Indonesia. Dengan kemajuan berbagai teknologi ini maka lingkungan kompetisi yang dihadapi Pos Indonesia pun semakin rumit. Saya melihat, dua perkembangan baru inilah—agresifnya gerak pesaing global di satu sisi, dan adanya revolusi teknologi telekomunikasi-informasi-multimedia di sisi lain yang mengantarkan Pos Indonesia memasuki era lingkungan persaingan baru yang dinamis, turbulen, dan bahkan chaotic. Satu ciri dari lingkungan persaingan semacam ini adalah tak mampu diidentifikasinya para pesaing. Siapa yang menduga kalau Pos Indonesia akhirnnya harus bersaing head to head dengan internet service provider (ISP), operator e-commerce, pemberi jasa e-banking, atau bahkan penyedia jasa e-polling. Dalam lingkungan persaingan yang baru ini Pos Indonesia tak hanya menghadapi raksasa global seperti FedEx atau DHL tapi juga begitu banyak latent dan indirect competitor yang ancamannya jauh lebih besar karena datangnya tak terduga dan sulit diprediksi keberadaannya. Latent competitor ini tak hanya datang dari industri yang sama, tapi dalam banyak kasus justru datang dari industri lain nun jauh di sana yang sebelumnya sama sekali tak terpikirkan akan menjadi pesaing. Sampai saat ini masih sering mendengar seolah-olah Pos Indonesia adalah perusahaan monopoli yang posisinya tak terusik oleh pesaing. Kenapa anggapan ini bisa muncul? Karena Pos Indonesia adalah sedikit perusahaan di Indonesia yang memiliki pesaing yang demikian banyak dengan cakupan industri yang demikian luas, mulai dari perbankan, operator telepon, kurir, freight forwarding, hingga berbagai bentuk bisnis berbasis internet, mulai dari ISP hingga e-commerce. Mungkin karena pesaing ini berada di industri lain, orang kemudian menganggap itu bukan pesaing Pos Indonesia. Namun demikian dari uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa sesungguhnya persaingan dalam bisnis perposan sudah sedemikian gila-nya. Seperti halnya para operator pos di seluruh dunia, Pos Indonesia menghadapi pesaing dari berbagai industri. Hal ini tidak lepas dari lingkup bisnis yang ditekuni Pos Indonesia yang memang sangat luas dan menjangkau beragam industri. Di tiga lini bisnis utamanya saja yaitu bisnis komunikasi, logistik, dan layanan keuangan, saat ini Pos Indonesia menghadapi ribuan pesaing dari beragam industri yang cakupannya amat luas. Coba saja kita lihat satu-satu. Pertama, tentu saja, industri jasa titipan yang menawarkan jasa pengiriman surat pos tertentu dan paket. Kedua, jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang bergerak dalam bidang ekspedisi, kargo, distribusi hingga full logistic. Ketiga, industri jasa telekomunikasi yang memberikan layanan komunikasi mulai dari telepon, faksimili, televisi hingga videoteks. Keempat, industri penyedia layanan internet yang memberikan beragam jasa berbasis internet mulai dari e-mail hingga e-commerce. Industri perbankan yang memberikan beragam jasa keuangan mulai dari tabungan, giro, transfer uang, hingga home banking. Juga industri media massa baik cetak maupun elektronik yang memberikan layanan penyampaian informasi dan iklan (BAP4). BAHAYA EFEK SUBTITUSI Gambaran sebelum telah menunjukan bagaimana perkembangan teknologi telah menggeser bisnis surat dan bisnis keuangan Pos Indonesia. Konsekuensi dari itu semua adalah munculnya apa yang disebut dengan efek substitusi (substitution effect), yaitu tergantikannya berbagai alat komunikasi konvensional seperti suratpos oleh berbagai alat komunikasi alternatif. Efek substitusi ini berlangsung makin cepat dari waktu ke waktu, dan seperti disebut di atas, bila kecenderungannya terus berlanjut, tak tertutup kemungkinan salah satu pilar bisnis pos yaitu pengiriman surat akan semakin terancam. Berbagai studi dilakukan oleh berbagai operator pos di negara maju untuk memperkirakan dampak buruk dari efek substitusi ini bagi bisnis suratpos di masa-masa mendatang. Salah satu studi yang sangat komprehensif dilakukan oleh Universal Postal Union (UPU) pada tahun 1997 untuk memperkirakan pangsa surat yang tergantikan oleh berbagai alat komunikasi elektronik seperti telepon, faksimili, dan terutama e-mail, sampai pada tahun 2005. Studi dari UPU ini merupakan studi yang paling ekstensif karena mencakup 94 negara di Asia-Pasifik, Afrika, Eropa Timur, Eropa barat dan Amerika Utara, dan Amerika Latin yang dibagi menjadi kelompok negara-negara berpendapatan tinggi, sedang, dan kelompok negara-negara berpendapatan rendah. Hasil penelitian itu menunjukan bahwa, pangsa surat yang tergantikan oleh alat komunikasi elektronik ini mencapai angka cukup besar yaitu sekitar 8,4% pada tahun 2005. Kalau kita cermati lebih lanjut, maka akan terlihat bahwa, segmen surat Bisnis ke Bisnis (B2B) merupakan segmen pasar yang paling besar terkena dampak dari efek substitusi dengan pangsa mencapai rata-rata 17%. Digambarkan juga bahwa, efek substitusi ini paling besar pengaruhnya di negara-negara maju yang umumnya memiliki infrastruktur telekomunikasi yang sudah maju dan penggunaan alat komunikasi elektronik yang sudah meluas. Di negara-negara maju ini, untuk segmen Bisnis ke Bisnis, pangsa surat yang tergantikan oleh alat komunikasi elektronik hampir mencapai seperempatnya. Di samping studi ekstensif yang dilakukan oleh UPU, berbagai operator pos dunia juga melakukan studi yang sama untuk lingkup negara dan kawasan regional tertentu. Pada tahun 1996 misalnya, Coopers & Lybrand melakukan studi untuk Komisi Eropa dengan cakupan studi meliputi negara-negara di kawasan Eropa.8 Hasil studi ini menunjukkan angka-angka yang tak berbeda jauh dengan temuan UPU (untuk negara maju), dimana pangsa surat yang tergantikan oleh alat komunikasi elektronik ini mencapai angka yang berkisar antara 5-35%. Sejalan dengan studi UPU, segmen Bisnis ke Bisnis mencapai prosentase paling tinggi dibandingkan segmen lain dengan angka berkisar antara 20-35%. Hasil yang cukup mengejutkan terlihat dari studi yang dilakukan di salah satu negara termaju di Eropa yaitu Jerman. Di negara ini angka substitusi surat oleh alat komunikasi elektronik untuk segmen Rumah Tangga ke Rumah Tangga menunjukkan angka yang cukup fantastis yaitu sekitar 4-6% tiap tahunnya. Sementara studi yang dilakukan di Finlandia, salah satu negara yang memiliki infrastruktur tercanggih di dunia, juga menunjukkan hasil yang hampir sama. Di negara ini, substitusi surat oleh alat elektronik lain mencapai angka lebih dari 50% hingga tahun 2010 mendatang. Secara lengkap berbagai hasil substitusi surat oleh alat komunikasi elektronik ini (bila ingin menyimak lebih dalam kasus ini maka data dan uraian lebih lengkap ada dalam buku Hermawan Kartajaya, Brindging to the Network Company, Gramedia). Perlu kiranya ditekankan disini bahwa penggunaan alat komunikasi ini tidaklah bersifat mutually exclusive. Penggunaan faksimili misalnya, tak jarang justru menyebabkan meningkatnya penggunaan surat secara bersamaan. Jadi penggunaan berbagai alat komunikasi tersebut bersifat saling melengkapi dan saling membesarkan pasar. Merebaknya penggunaan e-mail atau faksimili tidak secara otomatis mengurangi penggunaan surat. Karena itu berbagai prediksi juga mengindikasikan bahwa walaupun pangsa pasar surat akan menciut namun volume surat pada masa mendatang akan terus membesar. Study UPU misalnya menunjukkan, walaupun pangsa pasar surat pos pada tahun 2005 menciut hingga tinggal 15% dari 20% pada tahun 1995, namun secara umum volume surat akan terus meningkat dengan rata-rata peningkatan mencapai 2,5% pertahunnya selama kurun waktu 1995 hingga tahun 2005. PENETRASI ALAT
KOMUNIKASI ALTERNATIF Untuk mengetahui tingkat ketercapaian berbagai alat komunikasi elektronik tersebut di masa mendatang UPU mengadakan survai ke operator pos di 94 negara. Ke 94 negara tersebut terbagi ke dalam negara-negara yang masuk golongan negara berpendapatan rendah, sedang dan tinggi. Survai dilakukan untuk mengetahui tingkat ketercapaian dan penetrasi faksimili, telepon dan e-mail dibandingkan penetrasi layanan pos pada tahun 1995 dan tahun 2005. Di samping untuk penduduk secara luas, survai ini juga dilakukan untuk mengetahui tingkat ketercapaian berbagai alat komunikasi tersebut di kalangan bisnis. Perkembangan paling pesat terjadi pada e-mail yang peningkatannya mencapai tiga kali lipat, walaupun memang masih tetap pada level di bawah 40% dari keseluruhan jumlah penduduk. Perkembangan penetresi e-mai lyang pesat ini berlangsung baik di negara berpendapatan tinggi, sedang dan bahkan negara-negara berpendapatan rendah. Tingkat penetrasi berbagai alat komunikasi elektronik di kalangan bisnis lebih tinggi lagi. Pada tahun 2005 penetrasi telepon hampir mendekati 100% untuk negara-negara berpendapatan tinggi dan sedang. Penetrasi yang cukup tinggi juga terjadi untuk faksimili, dimana tingkat penetrasinya berkisar antara 60% di negara-negara berpendapatan rendah dan lebih dari 90% di negara-negara berpendapatan tinggi. Perkembangan yang menarik terjadi pada e-mail. Tingkat penetrasi e-mail ini di kalangan bisnis hingga tahun 2005 berkembang amat cepat melampaui 50% baik di negara-negara berpendapatan sedang maupun tinggi. Di negara-negara berpendapatan rendah, walaupun pertumbuhannya sangat mencapai tiga kali lipat, namun tingkat penetrasinya masih tetap di bawah level 30%. Dengan penetrasi e-mail yang demikian pesat, wajar saja jika operator pos di seluruh dunia cemas dengan kelangsungan bisnisnya. REFORMASI TEKNOLOGI
DARI UPU Operator pos di seluruh dunia juga harus mulai menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari pasar komunikasi secara luas dan bahwa mereka tak memiliki previlese dan posisi khusus. Dengan kata lain operator pos di seluruh dunia harus melakukan adaptasi terhadap situasi yang barudan terus berkembang akibat kemajuan yang pesat dalam teknologi. World Bank-UPU melihat ada beberapa pesan kunci berkaitan dengan kebijakan para operator pos dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan karakteristik pasar secara mendasar ini. Beberapa pesan kunci tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, setiap regulator pos yang melakukan reformasi dan pembaruan layanan posnya harus menempatkan agenda reformasi teknologi ini pada prioritas tinggi. Kedua, operator pos perlu secara jelas melihat posisi pasarnya sebagai bagian dari keseluruhan pasa komunikasi, dengan keinginan konsumen yang jauh berbeda. Dan karena itu operator pos harus melakukan reformasi teknologi pada urgensi yang paling tinggi. Ketiga, tak jarang hambatan utama dari adopsi teknologi ke dalam sektor pos justru datang dari kerangka aturan yang melingkupi sektor pos sendiri. Akibatnya, setiap upaya reformasi teknologi sektor ini juga harus dimulai dari peninjauan dan bahkan mungkin perombakan terhadap kerangka regulasi yang ada. Keempat, investasi yang diperlukan untuk pelaksanaan reformasi teknologi di atas umumnya sangat besar dan memerlukan skill yang tidak dimiliki umumnya operator pos. Dalam kaitan ini, tidak bisa tidak, operator pos di seluruh dunia harus melakukan berbagai upaya aliansi dengan perusahaan komunikasi lain dalam rangka membangun kompetensi dan mengimplementasikan teknologi-teknologi baru tersebut. Kelima yang barangkali merupakan pesan paling penting adalah bahwa jika layanan pos tidak mengintegrasikan teknologi komunikasi ke dalam pengadaan layanannya maka perubahan preferensi pasar yang nantinya bakal terjadi akan menyebabkan operator-operator pos di seluruh dunia tak mampu memberikan universal postal service sebagaimana mestinya. Menghadapi perubahan lingkungan bisnis akibat perubahan teknologi ini UPU-Bank Dunia selanjutnya memberikan beberapa usulan pilihan kebijakan. Intinya pilihan kebijakan ini mencakup dua hal. Pertama adalah kebijakan yang bersifat pasif (passive option) dan kedua kebijakan yang proaktif(proactive option). Pilihan pertama bersifat evolutif dimana operator pos tetap memberikan layanan-layanan pos tradisional dengan berbagai perubahan-perubahan kecil seperti pemberian layanan biro faks. Sementara pilihan kedua menuntut para operator pos untuk dengan cepat mengadopsi teknologi komunikasi elektronik dengan cara mengembangkan layanan komunikasi hibrid. UPU-Bank Dunia membagi kebijakan proaktif ini ke dalam empat pilihan stratejik yaitu masing-masing: Minimal, Intermediate, Expansionist, dan Exclusif. Operator pos di seluruh dunia, menurut UPU-Bank Dunia, haruslah tetap optimis karena di tengah munculnya revolusi komunikasi di atas sesungguhnya operator pos masih memiliki keunggulan kompetitif yang kokoh yang jarang dimiliki perusahaan lain, yaitu kemampuan jaringannya yang luas menjangkau seluruh pelosok negeri. Perlu anda ingat, sekitar 75% surat yang ada di seluruh dunia tertuju ke rumah tangga. Untuk mencapai rumah tangga-rumah tangga ini tentu saja dibutuhkan jaringan yang luas yang menjangkau berabgai rumah tangga tersebut. Dengan adanya keunggulan kompetitif ini maka operator pos memiliki dua pilihan: membangun kompetensi dengan landasan keunggulan kompetitif ini untuk kemudian menjadi pemain penting dalam pasar komunikasi. Atau sebaliknya terus berkutat pada status qua dan membiarkan kekuatan jaringannya mengalami underutilized, untuk kemudian menjadi korban tragis dari revolusi komunikasi yang berjalan kian cepat. Bisnis pos sudah berubah, dan upaya untuk mewujudkan digitized post juga sudah dimulai oleh Pos Indonesia. Situs baru mereka bukan merupakan awal dari langkah tersebut tetapi sebagai upaya mempercepat pencapaian ke konsep tersebut. Apakah perubahan lingkungan bisnis itu hanya terjadi dalam bisnis perposan, ternyata tidak, hampir semua bisnis mengalami perubahan. Bagaimana bila lingkungan bisnis telah berubah sementara kita sebagai individu yang terlibat dalam bisnis tersebut tidak mau berubah? (BAP)SELAMAT DATANG INTERNET Belum lagi revolusi faksimili mereda, memasuki tahun 1990-an sekali lagi gelombang hantaman terhadap bisnis surat pos datang dengan munculnya teknologi Internet yang melahirkan electronic mail. Popularitas e-mail yang demikian cepat meroket saat ini bahkan dinilai beberapa kalangan pengamat teknologi telekomunikasi sebagai awal lonceng kematian bisnis pengiriman surat. Teknologi yang rintisannya sudah tampak pada awal dekade 1970-an dan mencapai hit di awal 1990-an ini kini telah berkembang demikian cepat seiring dengan cepatnya pertumbuhan populasi komputer yang terkoneksi dan murah. Dari segi kecepatan e-mail dapat dikatakan setara dengan fax, namun dibandingkan dengan telex, telegram maupun surat pos yang paling cepat sekalipun e-mail jauh lebih unggul. Dari segi biaya e-mail juga lebih unggul dari alat komunikasi lain. Karena tarif layanan e-mail tidak tergantung dari volume pengiriman pesan, e-mail menjadi lebih murah dibandingkan faksimili, telex maupun surat kilat pos apalagi jika pengiriman dokumen tersebut kontinyu dan dalam jumlah yang besar. Kalau dilihat dari sisi surat pos, maka keunggulan satu-satunya dibandingkan e-mail dan tentu alat komunikasi lainnya adalah karena surat pos mampu mengirimkan dokumen asli. Namun di antara berbagai keunggulan tersebut e-mail memiliki beberapa kelemahan yang menjadikan ekspansi penggunaan alat komunikasi tidak seluas seperti diharapkan. Beberapa kelemahan tersebut antara lain adalah diperlukannya pemahaman tentang komputer dan investasi awal yang cukup besar baik investasi tetap seperti perangkat komputer dan modem maupun biaya variabel seperti biaya langganan ISP dan telepon. Munculnya e-mail hanyalah sebagian kecil saja dari keseluruhan perubahan dahsyat dalam teknologi komunikasi sebagai akibat dari lahirnya Internet. Perubahan yang lebih luas yang tentunya memunculkan peluang sekaligus ancaman yang jauh lebih besar adalah dimulainya era broadband communication. Berkembangnya broadband communications ini nantinya akan mengarahkan teknologi Internet ke dalam jaringan multimedia yang memungkinkan adanya pengiriman video, image, suara dan teks dengan volume yang sangat besar dan kecepatan yang sangat tinggi. Perkembangan broadband communications ini merupakan bagian dari kecenderungan besar ke arah konvergensi dari tiga sektor yang selama ini terpisah yaitu: telekomunikasi, komputer, dan broadcasting. Ketika ketiga sektor tersebut dapat mentransmisi dan menerima informasi secara digital maka praktis ketiga sektor tersebut akan menjadi sektor tunggal. Kalau ini terjadi maka jaringan telekomunikasi yang ada (baik wire maupun wireless network) nantinya akan digunakan untuk memberikan baragam bentuk layanan begitu intensif meningkatkan kinerja layanannya dengan membangun jaringan ATM. Bank Central Asia (BCA) sebagai bank swasta terbesar di Indonesia misalnya, hingga saat ini setidaknya telah memiliki tak kurang dari 2000 mesin ATM yang tersebar hingga ke daerah-daerah kabupaten. Dengan adanya ATM ini maka pengiriman uang dapat dilakukan secara instan tanpa menunggu beberapa hari seperti halnya layanan weselpos. Dan karena penyebaran mesin ATM ini sudah sedemikian luas hingga ke daerah kabupaten maka semakin luas pula kalangan masyarakat yang memanfaatkan alat ini, yang berarti pula bahwa semakin banyak kalangan masyarakat yang meninggalkan weselpos sebagai alat melakukan pengiriman uang. Maraknya layanan ATM ini juga berdampak sangat serius pada layanan cekpos wisata (postal traveler’s check). Layanan cekpos wisata ini sejak lama sangat populer bagi para wisatawan dan mereka yang bepergian sebagai alat untuk pencairan uang selama mereka melakukan perjalanan. Mereka dapat mencairkan uang secara cepat dan praktis selama dalam perjalanan dengan cukup mendatangi kantor-kantor pos terdekat. Namun dengan mulai meluasnya penyebaran mesin-mesin ATM, maka popularitas cekpos wisata inipun mulai meredup. Pencairan yang dulu dilaksanakan melalui kantor-kantor pos kini mulai dapat dilakukan melalui ATM yang tersebar luas dengan format layanan yang jauh lebih praktis, efisien, dengan waktu layanan nonstop 24 jam. Berkembang pesatnya teknologi transfer dana elektronik (automated bank transfer) di industri perbankan juga telah memungkinkan transfer dana di bank, baik dalam satu bank maupun antar bank yang berbeda, dapat dilakukan secara cepat, murah dan sangat efisien. Hal ini sekali lagi menyebabkan weselpos menjadi tidak efektif bahkan ketinggalan jaman dibanding transfer dana elektronik melalui bank tersebut. Ambil contoh saja dari segi biaya. Untuk mengirimakan uang melalui weselpos seseorang harus membayar fee sebesar 2,5% dari nilai nominal uang yang dikirim. Sementara melalui transfer antar bank, fee ini sangat kecil bahkan untuk satu bank pengiriman uang ini tidak dikenakan biaya apapun. Dengan kenyataan ini jelas sekali weselpos kalah bersaing dengan layanan perbankan tersebut. Kemajuan dalam
teknologi transfer dana elektronik tersebut rupanya tak hanya berdampak
pada bisnis layanan keuangan Pos Indonesia tapi lebih jauh lagi juga
berdampak pada bisnis surat. Perkembangan pesat teknologi tersebut rupanya
telah memicu munculnya “paperless banking” yang menjadikan arus surat
yang datang dari munculnya transaksi keuangan turun drastis, karena
transaksi tersebut dapat sepenuhnya dilakukan secara elektronik. Disamping
itu kini banyak bank menawarkan “pay by phone” service dalam
pembayaran tagihan dengan menggunakan kartu kredit, yang praktis tidak
lagi melibatkan korespondensi finansial dengan menggunakan surat. Akibat
dari perkembangan ini gampang ditebak, bisnis pengiriman surat dari Pos
Indonesia untuk kalangan perbankan ini dari waktu ke waktu semakin
terpangkas. Dari paparan ini kelihatan sekali betapa kemajuan dalam teknologi informatika secara teknis telah mengobrak abrik bisnis pos baik dalam bisnis surat maupun bisnis keuangan Pos Indonesia. Bagaimana dengan bisnis logistik serta apa efek dari kesemua ini? Bila saja anda mengikuti secara kontinyu kolom ini kemungkinan besar akan diperoleh gambaran yang lebih jujur dan transparan dimana dan bagaimana bisnis pos saat ini dan prediksinya di masa yad (BAP). LINGKUNGAN BISNIS YANG BERUBAH CEPAT Tidak hanya ungkapan Hermawan, tapi kenyataannya hari ini sebagai contoh kita memasuki era baru, sebuah perubahan, www.pos.wasantara.net.id telah berubah menjadi www.posindonesia.co.id. Situs yang punya image statik dan tidak up to date mulai hari ini telah berubah, mulai dari up dating informasi dengan tambahan menu baru yang sesuai kebutuhan stakeholdernya, bahkan fasilitasnya dilengkapi dengan saran interaktif. Ini semua terjadi atas kerjasama antar unit kerja terkait dan dengan dukungan teknologi maka terwujudlah salah satu harapan stakeholder Pos Indonesia, dialog. Bagi Pos Indonesia sendiri keuntungannya antara lain akan memperoleh masukan dan kepekaannya atas kebutuhan stakeholdernya akan meningkat. Bagi konsumen, sarana ini dapat dijadikan ajang penyampaian harapan dan kebutuhannya akan jasa Pos Indonesia dapat disalurkan dengan cepat dan efektif (bila tanggapannya tepat dan cepat). Bagi pegawai Pos Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai merauke, akan lebih memahami apa yang menjadi keinginan konsumennya dan sekaligus bisa menyampaikan uneg-uneg tanpa perlu berdemo. Bagi Dekom, kebutuhannya akan informasi tentang perkembangan situasi bisnis akan semakin cepat diperolehnya dan cepat pula diolah. Bagi pihak-pihak lain, situs ini akan banyak sekali manfaatnya, semoga. Seperti yang sering dikatakan Hermawan bahwa perubahan teknologi merupakan inti dan sumber dari perubahan lingkungan bisnis secara luas. Perubahan dalam teknologi akan menjungkirbalikan cara perusahaan menjalankan bisnisnya, ia akan menggeser situasi dan struktur persaingan, ia dapat merubah secara mendasar dinamika pasar, dan perubahan teknologi pula yang dapat mendorong bergesernya perilaku, preferensi, dan tuntutan konsumen. Di Pos Indonesia perubahan lingkungan bisnis terjadi antara lain karena adanya penggunaan teknologi, yang menurut Hermawan disebut sebagai revolusi dalam teknologi telekomunikasi-informasi. Revolusi teknologi tekomunikasi informasi merupakan perubah lingkungan bisnis yang memiliki dampak paling hebat bagi keseluruhan bisnis dan aktivitas Pos Indonesia. Mengamati bagaimana perubahan teknologi telah mengobrak-abrik bisnis pos, perlu direfer sebuah buku yang yang terkenal ditulis oleh Andy Grove, CEO Intel dan salah seorang Man of the Year versi majalah Time, Only the Paranoid Survive. Dalam buku itu Andy Grove secara gamblang menggambarkan lingkungan bisnis yang dihadapi oleh Intel yang begitu sarat ketidakmentuan, turbulen dan bahkan volatile. Perusahaan yang demikian besarnya sekaliber IBM pun dapat ambruk dalam semalam oleh kerasnya tekanan lingkungan bisnis. “Hanya orang-orang paranoid yang selalu dihantui ketakutan akan kekejaman lingkungan bisnis saja yang akan dapat sukses,” kata Andy. Seperti yang diungkapkan oleh Andy Grove, manajer-manajer Pos Indonesia juga dihinggapi paranoia yang sama, setidaknya dalam lima tahun terakhir, merasakan kerasnya lingkungan bisnis terutama perubahan dalam teknologi. Coba saja bayangkan, apa jadinya bisnis surat pos, yang sudah sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu menjadi sumber kehidupan Pos Indonesia, kalau penetrasi e-mail sudah sedemikian tingginya menjangkau ke berbagai rumah tangga. Atau, bagaimana masa depan weselpos, bisnis unggulan Pos Indonesia yang lain, kalau penetrasi ATM sudah sedemikian luasnya katakan hingga ke kecamatan-kecamatan atau ke desa-desa. Kita tahu ATM kini telah menjadi pesaing utama weselpos karena transfer uang melalui ATM jauh lebih efisien dibanding weselpos. Walaupun memang tak akan tergantikan secara radikal, namun kekhawatiran mengenai eksistensi dan masa depan bisnis pos di atas telah membayangi para manajer Pos Indonesia hingga saat ini. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial di atas wajar saja menghantui segenap jajaran Pos Indonesia karena kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi memang telah berdampak amat serius dan mendasar bagi bisnis Pos Indonesia. Bermunculannya berbagai alat komunikasi baru khususnya alat komunikasi elektronik sejak awal abad lalu, mulai dari telex, telegram, videoteks-teleteks, telepon, faksimili, hingga belakangan ini alat komunikasi yang berbasis Internet telah menjadikan bisnis pengiriman suratpos kian terancam keberadaanya. Di lini bisnis pos yang lain yaitu layanan keuangan kondisinya juga tak jauh beda. Kemajuan dalam teknologi transfer dana elektronik (electronic fund transfer, EFT), electronic fund transfer at the point of sale (EFTPOS), anjungan tunai mandiri (automated teller machines, ATM), teknologi home bangking baik melalui telepon maupun komputer, electronic banking, dan teknologi verifikasi kartu kredit yang berkembang pesat di sektor perbankan, hingga teknologi cybercash dan e-commerce, juga telah membawa dampak yang tak kalah mengkawatirkannya dibanding dampak yang dialami bisnis surat. Pengembangan Kepemimpinan dan Pelatihan GE adalah salah satu
perusahaan yang terkenal di dunia karena kesungguhannya dalam
mengembangkan sumber daya manusia. "GE Crotonville,"
sebuah pusat pengembangan kepemimpinan korporasi, adalah bagian terpenting
dari langkah GE menumbuhkan bisnisnya melalui kemampuan para karyawannya. Model pengembangan
kepemimpinan di lembaga yang berlokasi di New York ini dipelajari oleh
banyak perusahaan di dunia karena terbukti telah berhasil mendukung
keberhasilan usaha GE. Berbagai kursus yang diadakan di GE Crotonville
menjadi ajang berbagi kiat ("best practice") serta pengetahuan
bagi para karyawan GE serta mitra usaha GE untuk meningkatkan kinerja
mereka. Kini, GE semakin
memperluas jangkauan pendidikan dan pelatihan ini dengan menyelenggarakan
rangkaian kursus kepemimpinan maupun manajemen di berbagai negara di luar
Amerika Serikat, termasuk di Indonesia. Yang mengambil manfaat dari
berbagai kursus ini bukan hanya para karyawan GE, tapi juga para mitra dan
pemasok GE, bahkan juga berbagai BUMN Indonesia. Di Indonesia, GE ikut
berperan memperkuat persiapan menghadapi tantangan masa depan dengan
membangun sumber daya manusia yang andal. Selain membuka kesempatan
berbagi pengalaman dengan para pimpinan dan karyawan BUMN, GE juga memberi
kesempatan bagi karyawannya di Indonesia untuk berpartisipasi dalam
program "On-the-Job-Training (OJT)," yaitu kesempatan untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang usaha tertentu. OJT
merupakan contoh nyata proses alih teknologi dan alih pengetahuan dari GE
untuk Indonesia. Hati-hati!
Penyalahgunaan kartu kredit di RI Rp11,4 M Penyalahgunaan
kartu kredit di Indonesia ditengarai meningkat, khususnya di daerah
perkotaan dan daerah tujuan utama turis termasuk Bali, demikian sebuah
laporan. Dalam
laporannya The Starits Times menyatakan telah ditemukan 40 dokumen
penyalahgunaan kartu kredit yang nilainya mencapai 1 juta dolar AS atau
senilai Rp11,4 miliar yang merugikan konsumen, retailer, dan instansi yang
mengeluarkan kartu kredit. Kerugian sebesar itu hanya kasus yang terjadi
di Bali, belum memperhitungkan wilayah lain. Ishak
Dhany Kusuma, dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia mengatakan,"Kasus
penyalahgunaan kartu kredit dalam beberapa bulan belakangan ini memburuk
dan pelakunya ditengarai sebuah sindikat yang terorganisasi yang mengincar
turis dan ekspatriat." Jumlah
kasus yang ada saat ini, menurutnya, kemungkinan lebih besar karena hanya
sedikit prosentase korban yang melaporkan kasus tersebut. Beberapa
pemilik kartu kredit menemukan kartu mereka telah diduplikasi dan
disalahgunakan sesudah mereka meninggalkan Indonesia sementara otoritas
Indonesia tidak bisa menyelesaikan masalah kejahatan ini. Para
pelaku kriminal ini menunggu beberapa bulan setelah melakukan pencurian
dan melakukan transaksi pada beberapa kartu untuk meminimalkan resikonya.
Kecenderungan menimbulkan kekhawatiran beberapa websites travel dan
beberapa nasehat tentang travel di Indonesia yang dikeluarkan oleh
negara-negara asing termasuk peringatan penggunaan kartu kredit. Sebagai
contohnya, Kedubes Inggris telah memperingatkan warganya tentang
berkembangnya penyalahgunaan kartu kredit dalam beberapa bulan belakangan
ini. Mereka menyarankan bagi warganya yang berkunjung ke Indonesia untuk
seksama mengamati penggunaan kartu kreditnya sewaktu melakukan transaksi. Hermawan
Kartajaya, dari Markplus & Co di Jakarta mengatakan, "Teknologi
dan langkah pencegahan tidak cukup untuk memberikan keamanan bagi para
pengguna [kartu kredit]. Targetnya adalah kartu kredit tingkat atas yang
memiliki batas sangat tinggi seperti jenis gold dan latinum, atau
kartu-kartu kredit yang dikeluarkan bank-bank luar negeri." Seorang
ekspatriat dari Australia yang bekerja di Jakarta enam pekan lalu
menemukan kartu kreditnya telah disalahgunkan senilai 7.000 dolar Austrlia
tetapi ia tidak melaporkan hal ini kepada polisi setempat karena polisi
setempat ia nilai tidak bisa melakukan apapun atas penyalahgunaan kartunya
tersebut.
PENDAHULUAN Perubahan yang terjadi akibat adanya kesepakatan dalam perdagangan internasional, seperti GATT/WTO (General Agreement on Trade and Tariffs/World Trade Organization) dan TRIPs (Trade-related aspect on intellectual property rights) dalam beberapa tahun terakhir, tidak akan menguntungkan, baik bagi peneliti maupun bagi negara dimana peneliti tersebut berdomisili, yang menerapkan sistem angka kredit dan publikasi ilmiah saja. Tingginya tingkat kompetinsi antara peneliti yang dipicu oleh premi komersial dari pihak industri mendorong para peneliti untuk melindungi hasil-hasil temuannya. Di negara-negara timur, yang tidak memiliki budaya persaingan terbuka, perubahan tersebut menimbulkan beberapa masalah yang terkait dengan prinsip prinsip seluruh ilmu pengetahuan harus disebarluaskan kepada masyarakat. Hal ini tentu saja tidak dapat dipertahankan mengingat arus globlisasi yang makin kuat memperngaruhi hubungan perdagangan antar negara di dunia saat ini. Terlebih lagi apabila dicermati, negara-negara maju menggunakan instrumen, seperti lingkungan, hak azasi manusia, dekorasi, standar dan hak atas kelayakan intelektual, untuk memperkuat posisi tawarannya terhadap negara-negara berkembang.
Atas dasar fenomena diatas, para peneliti dinegara berkembang tampaknya tidak memiliki banyak pilihan, kecuali ikut memperkuat dirinya melalui perlindungan hukum terhadap hasil temuannya. Salah satu bentuk temuannya ini adalah berupa paten. Perolehan hak paten merupakan langkah awal seorang penemu (invetor) dalam meningkatkan posisi tawarannya, khususnya bagi temuannya yang bernilai komersial. Langkah penting berikutnya adalah mewujudkan proses alih teknologi kepada pihak industri. Proses ini penuh dengan liku-liku yang tidak biasa dihadapi oleh seorang peneliti dan oleh karenanya memerlukan strategi yang tepat. Dalam upaya memenuhi tuntutan tersebut, pihak pemerintah, khususnya Kantor Menteri Negera Riset dan Teknologi (KMNRT), berupaya menciptakan berbagai fasilitas yang bersifat insentif bagi penemu dan industri. Melalui penerapan sistem incentive-driven ini diharapkan sistem inovasi nasional terbangun secara kokoh sebagai pondasi dari pembangunan budaya iptek nasional. Sasaran ini akan dapat tercapai dengan sinerji yang produktif dari berbagai pihak, termasuk eprguruan tinggi, industri, LSM dan masyarakat. Tulisan ini menyajikan beberapa aspek yang terkait dengan pengajuan hak paten dalam konteks pengalaman penulis selama menangani proses komersialisasi produk dan teknologi bernilai komersial, khususnya produk/teknologi yang terkait dengan bioteknologi pertanian.
PERSEPSI PENELITIAN TERHADAP PATEN Istilah paten hingga saat ini masih tergolong salah-kaprah digunakan di Indonesia. Yang umum dimaksud dengan paten sebenarnya adalah Hak Atas Kelayakan Intelektual (HaKI) menurut Dirjen HaKI (ex-HCPM). Paten merupakan satu dari tujuh bentuk perlindungan HaKI yang dikenal berlaku secara internasional selama ini. Karena persyaratan, hak dan kewajiban yang ditawarkan dari masing-masing bentuk ini berbeda, pemilihan bentuk yang optimal perlu dilakukan secara seksama. Atas dasar pengalaman penulis berinteraksi dengan penelitian, terdapat paling tidak tiga kelompok peneliti dengan kaitannya dengan paten, yaitu: (i) tidak mengerti, dan (ii) tidak setuju. Kelompok pertama jelas karena ketidak-mengertiannya, persepsinya terhadap paten hanya terbatas bahwa produk atau teknologi yang diberi hak paten tidak boleh ditiru oleh siapapun. Persepsi ini berbeda dengan yang termaksuk kelompok kedua, yaitu yang memahami bahwa hak paten merupakan satu perlindungan secara hukum terhadap hasil penelitian atau temuan yang bernilai komersial. Kelompok ini juga memahami bahwa dengan memengang hak paten, posisi tawar kepada pihak industri menjadi tinggi (kuat) dan bermanfaat dalam negosiasi royalti hasil pelisensian temuannya. Peneliti dalam kelompok ini tidak berkeberatan membeberkan hasil temuannya dalam dokumen aplikasi paten. Sebaliknya, kelompok ketiga tidak mau menggunakan sistem paten, karena harus membeberkan temuannya tersebut. Setelah disetujui perolehan patennya, dokumen tersebut tersedia bebas bagi masyarakat (public domain), sehingga dapat dipublikasikan atau dibaca oleh semua pihak yang memerlukannya. Mereka berpendapat dengan sistem tersebut, hasil temuannya akan dengan mudah dimodifikasi atau memberi ide pembaharuan bagi pesaing-pesaingnya. Sebenarnya, sifat penolakan mereka lebih terkait dengan tidak jelasnya penerapan hukum dalam kaitannya dengan peniru (infringers), khususnya yang terjadi dinegara-negara berkembang, seperti Indonesia. Beberapa waktu terakhir ini, penulis juga memperoleh tanggapan tentang posisi paten (HaKI) dari segi agama. Menurut ajaran agama, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi secara cuma-cuma kepada masyarakat adalah salah satu bentuk ibadah. Jadi, jika temuan dipatenkan, maka rakyat tidak dapat secara bebas menggunakannya, atau harus mengeluarkan biaya untuk itu. Sepintas hal ini memang benar, tetapi jika dilihat lebih dalam lagi, biaya yang dikeluarkan tersebut sebanding dengan manfaat yang diperolehnya. EVALUASI TEMUAN LAYAK PAKAI Satu penemuan atau hasil penelitian layak paten (patenable) jika memenuhi persyaratan novelty, utility, dan non-obviousness. Novelty artinya baru, yaitu harus berbeda dengan prior art. Maksudnya tersebut harus berbeda dengan temuan-temuan yang telah ada. Dengan dmeikian, temuan yang telah dipublikasikan, digunakan oleh masyarakat, dan/atau ditawarkan untuk dijual selama lebih dari satu tahun sebelum pendaftaran paten tidak layak memperoleh paten. Azas utility mengandung pengertian manfaat yang diperoleh dengan temuan yang bersangkutan. Dalam persyaratan ketiga, ide penemuan harus tidak dimiliki oleh peneliti lain yang sebidang pada saat temuan dihasilkan. Satu temuan yang menyelesaikan satu masalah tertentu tidak bersifat non-obvious jika orang lain pernah mencobanya tetapi gagal (OIP, 1998). Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam mengevaluasi satu temuan yang akan dipatenkan antara lain adalah sebagai berikut:
PROSES PENGAJUAN PATEN HASIL PENELITIAN BIOTEKNOLOGI Beberapa hasil penelitian bioteknologi ebrupa produk teknologi produksi yang pernah diajukan dan melibatkan penulis dan/atau instansi penulis adalah:
i.
Teknologi
perakitan Ortet Kelapa Kopyor dengan kultur Embrio
(Penemu: Dr. J.S. Tahardi, Dra. K. Wargadalem & R. Wargadipura, MS)
Kode P adalah untuk paten biasa yang berlaku bagi hasil temuan via penelitian yang sistematis dengan masa perlindungan 20 tahun. Kode S adalah untuk paten sederhana untuk hasil penelitian sederhana dengan masa perlindungan lebih pendek (10 tahun). Aspek penilaiannya lebih ditekankan pada nilai manfaat (utility model) dan nilai kebaruan daripada langkah inventif-nya. Alasan penulis dalam memilih jenis paten tersebut (S) adalah semata-mata didasari oleh pertimbangan komersial dari hasil temuan dan pemicu bagi penemu untuk segera menghasilkan temuan-temuan baru yang lebih kompetitif. Temuan berupa suatu produk biofertilizer, biostimulan, atau biofungisida dengan mudah dan cepat disempurnakan. Dengan demikian penulis merasa tidak perlu meminta masa perlindungan yang sampai 20 tahun. Selain itu, dalam periode 10 tahun perusahaan yang melisensi hak paten tersebut diperkirakan telah mampu mengembalikan investasinya (2-3 tahun) dan selama 8-7 tahun menikmati keuntungan bersih. Kondisi ini ebrlaku bagi produk-produk yang pasar sasarannya jelas, seperti pupuk dan agrokomia lain, sehingga karena prospeknya baik maka akan muncul pesaing-pesaing baru. Untuk itu, peneliti penemu harus secara kontinyumengembangkan hasil temuannya agar tetap lebih unggul dan diupayakan memperoleh hak paten, seluruh proses pengajuan paten tersebut di atas dilaksanakan sendiri dan langsung ke Kantor Paten di Tanggerang, urutan kegiatan penting dalam rangkaian proses pengajuan paten tersebut adalah sebagai berikut. i. Evaluasi internal terhadap kelayakan temuan untuk dipatenkan, ii. Penyerahan hak temuan kepada instansi, iii. Konsultasi dan pengambilan formulir aplikasi di Kantor Paten, iv. Penyusunan deskripsi dan klaim temuan, v. Pendaftaran/penyerahan aplikasi paten, dan vi. Korespondensi kemajuan proses aplikasi. Secara ringkas proses pengajuan dan perolehan beebrapa Hak Paten dari hasil penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Rhizo-Plus) dan Tanaman Perkebunan (Kelapa Kopyor dan Biofertililizer Emas) disajikan dalam Gambar 1. Daftar biaya pungutan paten disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Daftar Biaya Pungutan Paten
Sumber: Ditjen HAKI (1999) KUNCI KELANCARAN PROSES APLIKASI PATEN Berdasarkan uraian tersebut, proses aplikasi paten terkesan rumit. Namun sebenarnya masalah kerumitan ini sangat tergantung pada kesiapan permohonan dalam memahami langkah-langkah proses yang berlaku. Yang jelas, hingga saat ini proses pengurusan paten memerlukan waktu (2-4 Tahun), karena kesiapan masing-masing pihak, baik pemohon maupun Kantor Paten, belum optimal. Selama beberapa kali memantau proses pengajuan paten, penulis mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat membantu kelancaran pengurusan paten. Faktor-faktor termaksud adalah yang menyangkut:
i.
Materi Temuan
Layak Paten
STATEGI PEMASARAN Keberhasilan proses pemasaran produk/teknologi hasil penelitian bernilai komersial sangat tergantung pada berbagai faktor. Menurut pengalaman penulis, salah satu faktor kuncinya adalah kejelian para peneliti dalam mengantisipasi peluang pasar. Peluang pasar yang dimaksud bukan hanya terbaca pada saat ini, tetapi yang lebih penting adalah yang terjadi sejak hasil penelitian termaksud diperoleh. Antisipasi terhadap peluang pasar ini dapat dilakukan dengan menyusun beberapa skenario berdasakan asumsi-asumsi yang secara diminan dapat diandalkan. Asumsi yang diambil harus yang benar-benar dipahami oleh peneliti dengan menghimpun informasi dari berbagai pihak yang terkait dengan materi yang akan ditelitinya. Jadi, asumsi ini tidak dapat ditetapkan hanya berdasarkan pada pemikiran peneliti sendiri. Peluang pasar juga dapat dinilai berdasarkan nilai strategis dari produk atau teknologi yang akan dihasilkan. Nilai strategis ini dapat dijustifikasi menurut kondisi yang berlaku. Beberapa contoh diantaranya adalah: i. pupuk : perluasan areal dan intensifikasi usaha produksi tanaman akan memerlukan pasokan dalam jumlah besar, sedangkan kaspasitas produksi pupuk dimestik terbats dan pengadaan via impor menambah biaya produksi, ii. produk berbasis biologi : tekanan yang makin kuat dari masyarakat terhadap kalangan produsen hasil pertanian yabg banyak menggunakan input kimia buatan membuat pilihan beralih ke teknologi yang aman lingkungan dan kesehatan, dan iii. obat-obatan : dengan makin meningkatnya statistik penderita penyakit ganas yang belum ada obatnya yang efektif, produk/teknologi untuk mengatasi masalah ini sangat dinantikan. Hal lain yang penting peranannya adalah pengenalan dan penguasaan terhadap pasar sasaran (captive market). Proses yang paling efektif dalam menjamin keberhasilan proses pemasaran produk/teknologi hasil penelitian adalah dengan mengikat penggunaan hasil temuan dalam pengembangan dan produksi komersial. Kondisi ini umum diterapkan dalam proses pengembangan dan produksi komersial. Kondisi ini umum diterapkan dalam program Riset Unggulan Kemitraan (RUK). Namun, umumnya mitra para peneliti dalam program ini adalah kalangan produsen, dan bukan konsumen. Apabila mitra tersebut adalah sekaligus sebagai pengguna produk/teknologi yang dihasilkan, maka jaminan pasar telah diperoleh secara pasti. Setelah produk/teknologi, maka kegiatan promosi perlu dilaksanakan untuk sosialisasi kepada masyarakat. Yang dipromosikan adalah manfaat-nya dan bukan proses penciptaannya. Kegiatan ini secara insentif dapat dilaksanakan dalam bentuk seminar, penyebaran brosur, dan pendekatan kepada pihak-pihak yang diperkirakan berminat. dalam melaksanakan kegiatan ini, peneliti harus menyesuaikan bahasa yang diginakannya agar dipahami oleh kalangan industri atau konsumen. Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah memantau setiap langkah hubungan awal dengan pihak luar guna menetapkan langkah-langkah selanjutnya. Dari kegiatan ini dapat diperoleh umpan balik yang bermanfaat, baik dari aspek penyempurnaan produk/teknologi maupun justifikasi dari manfaat yang dijanjikan.
TEORI NILAI ROYALTI Pada dasarnya royalti merupakan suatu perwujudan nyata dari apresiasi pihak komersial terhadap pemilik teknologi ataupun formulasi produk. Umumnya, hak-hak yang diberikan kepada pemengang lisensi oleh pemiliknya berkaitan langsung terhadap besarnya nilai royalti yang diminta. Sementara ini, paling
tidak ada lima teori yang sering digunakan dalam menetapkan besarnya
royalti, yaitu : Dari ke lima cara tersebut, pendekatan standar industri dianggap yang paling sedehana dan realistis, karena didasarkan pada kemungkinan kemampuan pasar untuk membeli dan membantu terbentuknya satu kumpulan standar kewajaran. Hal ini sangat penting karena penting karena pengaturan pelisensianmembentuk satu irama dalam hubungan jangka panjang antar dua perusahaan dimana dalam prakteknya lebih dari hanya sekedar pengalihan teknologi yang dipatenkan. Pengaturannya sering mencakup alih kemampuan khusus dan karyawan, audit reguler dan konsultasi tambahan. Tabel di bawah ini merupakan salah satu contoh kisaran nilai royalti dan aturan-aturan pembayaran terkait dari beberapa jenis produk biomedis. Running royalties diberlakukan jika satu produk memerlukan pra-pemasaran atau persetujuan pemasaran dalam segala bentu, tidak tergantung pada apakah pihak ketiga sepakat atau tidak untuk membayar teknologi baru yang dimaksud. Persyaratan ini biasanya terkait dengan royalti minimum untuk menjamin tingkat pembayaran dasar guna mempertahankan pemberian hak suatu lisensi. Royalti minimum merupakan pembayaran secara teratur yang dilaksanakan, walaupun suatu teknologi belum dipasarkan. Tujuannya untuk mendorong pemegang lisensi tidak hanya menguasai teknologi yang dilisensikan tanpa bertindak apapun.pembayaran awal dilaksanakan pada saat penandatanganan kesepakatan pelisensian. Nilainya paling tidak dapat menutup biaya pengurusan paten, dan biaya-biaya lain seperti proses pelisensian dan pejabat-pejabat yang menyaksikan penandatanganan tersebut. Tabel 2. Kisaran Nilai Royalti dari Pelisensian Produk Biomedis di AS.
PENUTUP Salah satu upaya untuk mendukung peningkatan jumlah paten domestik adalah dengan mendorong sebanyak mungkin peneliti menjadi peneliti penemu (invetor). Agar penggunaan fasilitas, dana, dan waktu berlangsung efektif, peneliti yang mengarah pada perolehan paten harus dirancang sejak awal, termasuk tidak mempublikasikan hasilnya secara rinci (disclosure) sebelum diperoleh hak paten, dan meteri yang akan diteliti dan/atau yang akan dipatenkan harus diacu ke paten-paten sebidang ilmu yang telah ada. Selain itu, dukungan dari pihak-pihak terkait dengan kegiatan para peneliti perlu diperoleh secara konsisten. Pengolahan temuan dari hasil penelitian yang bernilai komersial memerlukan strategi yang tepat. Strategi yang dimaksud menyangkut aspek pemasaran produk/teknologi yang telah memperoleh perlindungan paten kepada pihak industri. Langkah-langkah sosialisasi dan negosiasi perlu dilaksanakan secara insentif sehingga alih teknologi kepada pihak komersial dapat tercapai secara efesien.
F. Rahardi Lada putih dan lada hitam sebenarnya
berasal dari tumbuhan yang sama, yakni tanaman lada atau merica (piper
nigrum l.). Lada putih adalah buah lada yang dipanen ketika sudah masak.
Tandanya, perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning, oranye,
dan merah. Buah lada yang dipanen masak ini selanjutnya diperam, direndam,
dan digilas hingga kulit buahnya hancur dan tinggal biji lada yang bersih
berwarna putih. Setelah dijemur sampai kering, jadilah komoditas penting
sejak zaman Mesir kuno. Pakai lampu disko dan bikini Di negara-negara maju, industri makanan seperti sosis dan daging kornet
tidak menggunakan biji lada utuh atau bubuk lada melainkan minyak lada dan
oleoresin. Prospek industri pengolahan makanan di Indonesia relatif cukup
cerah. Makanya, mulai dari sekarang mestinya para petani sudah harus
merintis usaha pengolahan lada hitam menjadi minyak lada dan oleoresin. Generasi kedua keluarga Gobel Djumyati Partawidjaja, Titis Nurdiana, Cipta Wahyana Meneruskan bisnis keluarga mungkin saja lebih sederhana dibandingkan dengan merintisnya dari nol. Tapi, zaman yang berubah dan krisis ekonomi yang menerpa tetap saja membutuhkan keterampilan sang putra mahkota dalam mengelola usaha. Sebelum pisang tua mati, ia sudah
menyiapkan beberapa anakan sebagai pengganti. Itu pula yang dilakukan
Thayeb Mohammad Gobel, pendiri National Gobel, dengan menyiapkan Rachmat
Gobel sebagai putera mahkota. Tidak heran bila Teny, panggilan akrab
Rachmat, sejak berusia 8 tahun sudah sering diajak ayahnya main ke kantor.
Gobel tua juga terpaksa membuatkan lapangan bola kecil agar puteranya
betah tinggal di pabrik. ”Saya dibiasakan untuk berada di pabrik,”
tutur Rachmat yang pertama kali magang sejak duduk di bangku SMP. Menjadi raja di negeri sendiri Di masa ketidakpastian politik seperti sekarang, Rachmat ditantang
untuk bisa tetap meyakinkan partner Jepang-nya yang sudah didatangkan
ayahnya tahun 1970. Di Indonesia, memang, Matsushita sudah menanamkan uang
US$ 600 juta. Tapi, bukan mustahil tiba-tiba saja mereka berpikir untuk
memindahkan modalnya. ”Bekerja sama dengan orang Jepang itu
gampang-gampang susah,” kata lelaki yang selalu kerja sampai larut malam
itu. Kekaguman Lelaki Berkaki Zebra Sebagai anak laki-laki pertama, Rachmat adalah tumpuan Thayeb Mohammad
Gobel untuk meneruskan bisnisnya. Kendati begitu, Gobel tua tak pernah
memanjakan anaknya dengan pelbagai fasilitas. Malah, dibandingkan dengan
saudara-saudaranya, Rachmat mendapat pendidikan paling keras. ”Saya ini
dulu dijaga paling ketat. Asal tahu saja, saya dulu tak boleh membawa
mobil sendiri. Sekalipun untuk pacaran, saya harus bawa sopir,” tutur
Rachmat. Penjualan tiket ala e-ticketing R. Cipta Wahyana, Hendrika Yunapritta Bekerja sama dengan Indo.com, mulai Juni lalu, Merpati menerapkan sistem pembelian tiket secara online. Banyak biaya bisa diirit, tapi jangan harap harga tiket Merpati akan lebih murah. Justru sistem baru ini bakal mengancam periuk nasi agen tiket pesawat. Si kuda hitam Indo.com kembali unjuk gigi.
Setelah suskes membuat portal pemesanan kamar hotel secara online, Juni
lalu, dotcom yang dinahkodai Eka Namara Ginting ini kembali membuat
kejutan. Bersama maskapai Merpati, kali ini Indo.com membangun sebuah
sistem pembelian tiket pesawat secara online atau disebut e-ticketing.
Dengan layanan baru ini para calon penumpang Merpati makin mudah membeli
tiket.. Mereka tak harus pergi ke agen atau bandara, tapi cukup klak-klik
di depan komputer yang tersambung ke internet. Mengancam penghasilan agen tiket Layanan baru ini jelas meng untungkan Merpati. Soalnya, selain
produknya menjadi makin memiliki nilai tambah, BUMN ini juga bakal bisa
melakukan penghematan biaya cukup besar. Di beberapa negara, menurut Eka
Ginting, airline yang menerapkan e-ticketing ini bisa menghemat antara 7%
hingga 20% per tiket. Penghematan itu diperoleh karena airline tidak perlu
lagi mengeluarkan biaya untuk mencetak tiket yang bisa mencapai US$ 15 per
tiket dan fee untuk agen yang bisa mencapai 7% dari harga tiket. Untung menggiurkan dari miniatur kapal Bagus Marsudi, Melanie (Yogyakarta) Miniatur kapal ternyata digemari pasar mancanegara. Tiap bulan ratusan benda unik itu ludes diborong. Pengusahanya niscaya untung besar. Biaya produksinya tak sampai sepertiga harga jual. Nenek moyang kita memang pelaut. Tapi,
kejayaan masa lalu itu kini cuma sebatas di lagu anak-anak. Buktinya,
untuk mengantar rakyat menjelajahi Nusantara, pemerintah masih
memanfaatkan kapal-kapal made in luar negeri. Begitulah, kita cuma bisa
bangga bermoyang pelaut. Tapi, jangan terlampau risau melihat kenyataan
ini. Sebab, nun di Yogyakarta sana banyak orang bule rebutan kapal buatan
Kota Gudeg. Okenya pula, beberapa di antaranya sudah dipajang di museum
mancanegara. Hebat bukan? Biaya produksinya tak sampai sepertiganya Tertarik? Namanya juga kerajinan tangan, modal utamanya tentu niat dan
ketelatenan. Sisanya bahan-bahan seperti kayu mahoni atau jati dan
berbagai aksesori seperti manik-manik, rantai hias, dan vinil.
Peralatannya paling-paling gergaji, bor, amplas, lem, dan cat. Lainnya
ketrampilan. Untuk mencari model kapal cukup membuka buku-buku. Dari situ,
dibuat desain yang nantinya bakal dituangkan dalam bentuk mini.
|