Kaya Ide, Miskin KeberanianSuatu sore, saya bertemu teman lama semasa kuliah di UGM. Ia kini dosen di almamaternya. "Wah,
sampeyan benar, Mas Purdie. Kalau tiga tahun lalu saya langsung mulai bikin bengkel dan restoran di tanah warisan bapak saya, sekarang bengkel saya mungkin sudah gede dan punya nama. Sekarang, bengkel
two in one semacam itu sudah
ombyokan di kawasan itu. Kalau saya baru mulai sekarang, jelas berat saingannya," kata teman saya tadi bersungut-sungut.
"Bukankah ide bisnis yang bagus itu sudah Anda gagas tiga tahun lalu, lengkap dengan modal tanah warisan dan simpanan tabungan, mengapa Anda tidak langsung memulainya saat itu juga?" tanya saya.
"Waktu itu saya memang belum berani. Saya kan nggak ngerti mesin mobil," balasnya.
"Lho, siapa bilang Anda sendiri yang mesti menguasai mesin mobil. Anda bisa bayar orang yang punya keterampilan itu, dan Anda langsung jadi busines owner-nya," lanjut saya. Sang teman hanya bisa manggut-manggut.
Pada kesempatan lain, dalam penerbangan pesawat Jakarta-Denpasar, saya bertemu eksekutif bank swasta nasional yang rupanya ingin membuka resto internasional di Bali. Sebagai orang Bali asli, ia mengaku tidak rela kalau melihat orang luar Bali -- bahkan orang asing -- berbisnis dan berkembang di Bali. Maka, sudah setahun lebih ia kumpulkan resep makanan favorit internasional dan buku arsitektur resto seluruh dunia. Jumlahnya, kata dia, sudah satu lemari lebih. Modal pun tak jadi masalah, karena ada teman yang siap bantu. "Tapi, saya belum berani meninggalkan jabatan saya di kantor dan memulai bisnis sendiri, yang -- meskipun prospektif -- belum pasti juga. Saya bikin hitungan bisnis, tapi belum match," tutur sang bankir.
"Jadi, selama setahun ini Anda cuma kumpulkan ide bisnis sampai satu lemari, dan tak juga berani memulai? Kalau terus hanya dihitung di atas kertas, 10 tahun lagi Anda juga tak akan berani memulai. Padahal, sebenarnya hanya satu modal yang Anda butuhkan untuk memulai bisnis: Keberanian. Itulah modal awal sejati yang Anda butuhkan," saya coba urun solusi. Seperti teman saya tadi, sang bankir pun cuma bisa manggut-manggut.
Kaya ide tapi miskin keberanian. Itulah problem klasik calon pengusaha yang membuat mereka tak juga menjadi pengusaha. Dua kisah di atas hanya sebagian dari ribuan kasus problem kewirausahaan yang terus berulang. No action dream only. Padahal, jangan dibayangkan memulai bisnis itu terlalu rumit. Mulailah seperti orang mau mandi. Masuk kamar mandi dulu, baru ambil gayung atau putar shower, lalu gunakan sabun dan sampo. Toh, semua tersedia setelah kita masuk dan memulai mandi. Yakinlah, semua lancar-lancar saja kalau kita langsung memulai action. Sebaliknya, kalau sebelum masuk kamar mandi sudah takut dulu siapa tahu di dalam ada ular bahkan bom, kita tidak akan berani masuk, dan selamanya tak pernah mandi.
Kalau Anda sudah bertekad menjadi wirausahawan, saya tawarkan tiga model bisnis yang bisa Anda coba ketika mulai membangun bisnis. Gampangnya, model ini saya beri nama BODOL, BOTOL dan BOBOL.
Pertama, BODOL (Berani Optimistis pakai Duit Orang Lain). Siapa bilang bisnis mesti dimulai dengan duit sendiri? Pengalaman saya membuktikan, kalau kita memulai bisnis dengan duit sendiri, justru tidak berkembang dan maju, karena kita tidak punya tantangan. Setidaknya, tantangan untuk mengembalikan uang ke kolega atau bank tepat waktu. Bukankah janji adalah utang. Kalau kita mulai bisnis dengan uang sendiri, yang mendoakan sukses bisnis kita juga hanya kita sendiri. Kalau kita pakai duit bank atau orang banyak, yang mendoakan juga orang banyak. Untuk mendapatkan pinjaman, kita jelas dituntut meyakinkan orang lain bahwa bisnis kita menarik dan menjanjikan. Di situlah tantangannya.
Kedua, BOTOL (Berani Optimistis pakai Tenaga Orang Lain). Untuk memulai bisnis yang sudah kita miliki idenya, bukan berarti harus kita kerjakan dengan kemampuan atau keterampilan sendiri. Kita bisa membeli atau membayar orang yang memiliki keterampilan untuk melaksanakan ide bisnis kita. Kita tinggal tentukan standar kualitas dan mengawasi pekerjaan tenaga kerja yang kita bayar. Saat itu juga kita sudah bisa memproklamasi diri sebagai business owner.
Ketiga, BOBOL (Berani Optimistis meniru Bisnis Orang Lain). Meniru bisnis orang lain bukan tabu dalam memulai bisnis. Kalau kita amati, masih banyak produk industri rumahan yang menarik. Kita tinggal meniru saja bisnis itu dengan inovasi di sana-sini. Bukan mustahil, justru bisnis kita yang muncul belakangan itulah, yang bisa berkembang lebih pesat ketimbang pendahulunya.
Yang juga harus selalu diingat, tak ada bisnis yang langsung jadi. Jatuh-bangun dan gagal adalah hal yang lumrah setiap kali kita memulai bisnis. Demikian juga, seorang karyawan (employee) yang ingin banting setir menjadi wirausahawan, ia harus berani mengubah pola pikirnya (mindset). Ketika menjadi karyawan, pola pikirnya adalah penghasilannya pasti dan ajeg. Adapun wirausahawan justru antikepastian, sekaligus konsisten dengan ketidakpastian dan risiko. Wirausahawan harus melihat risiko sama dengan rezeki. Di mata pengusaha, bila bisnis berpotensi hi-risk, berarti bisnis itu juga hi-rezeki.
Jadi, sekali lagi, mulailah wujudkan mimpi Anda, sekarang juga. Jangan biarkan orang lain menyabot mimpi Anda. Sesal kemudian sudah pasti tidak berguna.
Penulis adalah Presiden Direktur Grup Primagama, Yogyakarta, pengelola Entrepreneur University.