WIRAUSAHA-ONLINE
                   
  
Article Page | Interview Page | Reviews Page | Photo Album Page | Mailbag | Contact Me | Archives | New Page Title

Home

  
                   
  
 Article Page 
  
 

Ingin Kaya? Jangan Jadi Karyawan!

Nyaris setiap bangun tidur, diva Indonesia, Kris Dayanti, sudah ditawari peluang konser atau menyanyi di panggung senilai puluhan juta hanya untuk membawakan 3-5 lagu. Kalau sehari saja bisa menghasilkan puluhan juta rupiah, tinggal hitung sendiri penghasilan bulanannya. Belum lagi tawaran iklan berbagai produk. Namun, pernahkan kita dengar pertanyaan: Kris Dayanti kuliah di mana atau meraih gelar sarjana apa? Jangankan Kris Dayanti, Tasya dan Joshua -- dua bocah cilik Indonesia yang masih SD -- pun sudah mampu menghasilkan duit ratusan juta bahkan miliaran rupiah.

Sejarah wirausaha (entrepreneur) juga mencatat, banyak pengusaha bahkan konglomerat Indonesia yang sukses membangun imperium bisnis mereka meski pendidikannya hanya SMP bahkan SD. Mungkin tak perlu terlalu banyak mencari contoh orang lain. Kalau saja saya dulu memilih menamatkan kuliah saya di Universitas Gadjah Mada, hampir pasti saya tak akan berani memulai bisnis Bimbingan Belajar Primagama, yang kini berubah menjadi holding company beromset di atas seratus miliar rupiah. Meski dulu saya belum membaca buku laris Robert Kiyosaki, If You Want to Be Rich and Happy, Don`t Go to School?, saya sudah sadar bahwa pintar dan dapat ranking di sekolah tidak menjamin seseorang akan sukses dan kaya-raya. Saya bahkan punya keyakinan, semakin lama seseorang sekolah, semakin tidak kreatiflah dia. Karenanya, semakin takut pula dia mengambil risiko -- sikap penting yang amat diperlukan bila seseorang ingin sukses menjadi wirausaha. Dan, saat ini, menjadi business owner adalah jalan kongkret menjadi kaya-raya.

Lewat pekerjaan yang ditekuni bertahun-tahun, akhirnya seseorang umumnya ingin hidup makmur dan terjamin masa depannya. Istilah gampangnya, hidup kaya-raya. Namun, tak banyak orang yang menyadari bahwa sejak masuk kuliah sebenarnya seseorang telah menyiapkan dirinya hidup miskin. Contoh ekstremnya, kalau seseorang sejak muda bercita-cita menjadi guru, jangan harap di usia pensiunnya dia bisa membeli Mercy terbaru dan tinggal di perumahan elite.

Demikian juga, bidan atau perawat rumah sakit mustahil mampu mengkredit Toyota Kijang LGX di usia pensiunnya. Lain ceritanya kalau dia memiliki jiwa wirausaha, sehingga dengan keahliannya dia mendirikan klinik atau rumah bersalin di rumah, yang bisa dikelola bersama kolega bidan lain. Salah satu contoh yang berhasil mengembangkan cara serupa adalah Grup RS Hermina di Jakarta. Memang, cukup banyak bidan berjiwa wirausaha yang berani mengelola usaha rumah bersalin seusai berdinas di rumah sakit. Setelah berkembang menjadi klinik dan rumah bersalin besar, mereka pun membeli tanah di tempat lain untuk mengembangkan usahanya. Dengan begitu, BMW atau Mercy pun bisa dibelinya dengan mudah.

Banyak pula orang yang terbuai oleh sukses semu selama bertahun-tahun menjadi karyawan. Kalau kita menjadi manajer pemasaran bank dan suatu ketika berhasil memasarkan produk tertentu, pastilah kita berharap mendapatkan kenaikan gaji dari sukses itu. Ketika itu didapat, kita merasa kerja kita berhasil. Padahal, keuntungan atau bertambahnya kekayaan sang pemilik bank jauh berlipat dari kenaikan gaji yang diberikan kepada karyawan yang bekerja pada bank miliknya. Siapa yang lebih untung dan lebih kaya: karyawan yang punya ide pemasaran yang cemerlang, ataukah pemilik bank yang pasif dan mampu membayar lebih mahal kepada karyawan yang kreatif untuk mengelola untungnya menjadi berlipat? Jelas pemilik bank yang lebih banyak diuntungkan. Jadi, mengapa mesti bertahan jadi karyawan?

Bisnis kadang bisa dimulai dari kesadaran akan potensi diri sendiri. Sayangnya, tak banyak orang menyadarinya. Untuk memulai bisnis, seorang ahli farmasi, misalnya, sering kali tak menyadari bahwa keahliannya adalah modal utama memulai bisnis. Sebab, mindset ahli farmasi tersebut adalah long life to be an employee. Maka, ketika suatu saat ia berhasil menemukan ramuan obat antikanker, dia memilih menjual paten penemuannya kepada pabrik farmasi besar. Sang ahli farmasi hanya menerima royalti tanpa pernah tahu persis keuntungan bersih yang tentu saja jauh lebih besar dibanding royalti yang diberikan kepadanya. Padahal, kalau saja sang penemu memilih mencari mitra bisnis yang mau membiayai penemuannya agar menjadi bisnis farmasi yang besar dan menguntungan, tentu kehidupannya jauh lebih kaya.

Dengan bekal cetak biru penelitiannya yang profitable, tak sulit sebenarnya sang penemu mendapatkan mitra bisnis yang mau membantu permodalan bisnisnya. Investor tentu semakin percaya karena uangnya dikelola oleh orang yang tepat. Dan yang pasti, sang ahli bisa menjadi pemilik bisnis sembari terus mengembangkan penelitian lain sambil menghitung keuntungan bisnis yang dikelolanya sendiri. Bahkan, suatu saat ia bisa membayar ahli lain yang lebih hebat darinya untuk mengembangkan bisnis farmasinya. Ini hanya satu contoh. Masih ada jutaan peluang yang sayang kalau keliru dilihat kemungkinannya mengubah nasib Anda.

Jadi, sekali lagi, jangan terlalu lama menjadi karyawan. Mulailah mewujudkan mimpi Anda menemukan jalan menjadi pengusaha yang mapan secara finansial. Yakinlah, jutaan peluang bisnis selalu tersedia. Lihatlah peluang yang belum dikerjakan orang lain. Kita tahu, misalnya, begitu banyak orang yang menjual wedang jahe, dari pasar becek hingga kaki lima. Tugas wirausaha adalah, bagaimana membuat wedang jahe mampu mendatangkan uang ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Itu yang perlu kita cari tahu dan mencobanya. Atau, silakan nekat terus menjadi karyawan, niscaya Anda akan menyesali saat pensiun nanti.

Penulis adalah Presiden Direktur Grup Primagama, juga Pengelola dan Mentor Utama Entrepreneur University.

New Page 1 <body> <p>This page uses frames, but your browser doesn't support them.</p> </body>

KLIK UNTUK MELIHAT WIRAUSAHA-ONLINE

Kaya Ide, Miskin Keberanian

Suatu sore, saya bertemu teman lama semasa kuliah di UGM. Ia kini dosen di almamaternya. "Wah, sampeyan benar, Mas Purdie. Kalau tiga tahun lalu saya langsung mulai bikin bengkel dan restoran di tanah warisan bapak saya, sekarang bengkel saya mungkin sudah gede dan punya nama. Sekarang, bengkel two in one semacam itu sudah ombyokan di kawasan itu. Kalau saya baru mulai sekarang, jelas berat saingannya," kata teman saya tadi bersungut-sungut.

"Bukankah ide bisnis yang bagus itu sudah Anda gagas tiga tahun lalu, lengkap dengan modal tanah warisan dan simpanan tabungan, mengapa Anda tidak langsung memulainya saat itu juga?" tanya saya.

"Waktu itu saya memang belum berani. Saya kan nggak ngerti mesin mobil," balasnya.

"Lho, siapa bilang Anda sendiri yang mesti menguasai mesin mobil. Anda bisa bayar orang yang punya keterampilan itu, dan Anda langsung jadi busines owner-nya," lanjut saya. Sang teman hanya bisa manggut-manggut.

Pada kesempatan lain, dalam penerbangan pesawat Jakarta-Denpasar, saya bertemu eksekutif bank swasta nasional yang rupanya ingin membuka resto internasional di Bali. Sebagai orang Bali asli, ia mengaku tidak rela kalau melihat orang luar Bali -- bahkan orang asing -- berbisnis dan berkembang di Bali. Maka, sudah setahun lebih ia kumpulkan resep makanan favorit internasional dan buku arsitektur resto seluruh dunia. Jumlahnya, kata dia, sudah satu lemari lebih. Modal pun tak jadi masalah, karena ada teman yang siap bantu. "Tapi, saya belum berani meninggalkan jabatan saya di kantor dan memulai bisnis sendiri, yang -- meskipun prospektif -- belum pasti juga. Saya bikin hitungan bisnis, tapi belum match," tutur sang bankir.

"Jadi, selama setahun ini Anda cuma kumpulkan ide bisnis sampai satu lemari, dan tak juga berani memulai? Kalau terus hanya dihitung di atas kertas, 10 tahun lagi Anda juga tak akan berani memulai. Padahal, sebenarnya hanya satu modal yang Anda butuhkan untuk memulai bisnis: Keberanian. Itulah modal awal sejati yang Anda butuhkan," saya coba urun solusi. Seperti teman saya tadi, sang bankir pun cuma bisa manggut-manggut.

Kaya ide tapi miskin keberanian. Itulah problem klasik calon pengusaha yang membuat mereka tak juga menjadi pengusaha. Dua kisah di atas hanya sebagian dari ribuan kasus problem kewirausahaan yang terus berulang. No action dream only. Padahal, jangan dibayangkan memulai bisnis itu terlalu rumit. Mulailah seperti orang mau mandi. Masuk kamar mandi dulu, baru ambil gayung atau putar shower, lalu gunakan sabun dan sampo. Toh, semua tersedia setelah kita masuk dan memulai mandi. Yakinlah, semua lancar-lancar saja kalau kita langsung memulai action. Sebaliknya, kalau sebelum masuk kamar mandi sudah takut dulu siapa tahu di dalam ada ular bahkan bom, kita tidak akan berani masuk, dan selamanya tak pernah mandi.

Kalau Anda sudah bertekad menjadi wirausahawan, saya tawarkan tiga model bisnis yang bisa Anda coba ketika mulai membangun bisnis. Gampangnya, model ini saya beri nama BODOL, BOTOL dan BOBOL.

Pertama, BODOL (Berani Optimistis pakai Duit Orang Lain). Siapa bilang bisnis mesti dimulai dengan duit sendiri? Pengalaman saya membuktikan, kalau kita memulai bisnis dengan duit sendiri, justru tidak berkembang dan maju, karena kita tidak punya tantangan. Setidaknya, tantangan untuk mengembalikan uang ke kolega atau bank tepat waktu. Bukankah janji adalah utang. Kalau kita mulai bisnis dengan uang sendiri, yang mendoakan sukses bisnis kita juga hanya kita sendiri. Kalau kita pakai duit bank atau orang banyak, yang mendoakan juga orang banyak. Untuk mendapatkan pinjaman, kita jelas dituntut meyakinkan orang lain bahwa bisnis kita menarik dan menjanjikan. Di situlah tantangannya.

Kedua, BOTOL (Berani Optimistis pakai Tenaga Orang Lain). Untuk memulai bisnis yang sudah kita miliki idenya, bukan berarti harus kita kerjakan dengan kemampuan atau keterampilan sendiri. Kita bisa membeli atau membayar orang yang memiliki keterampilan untuk melaksanakan ide bisnis kita. Kita tinggal tentukan standar kualitas dan mengawasi pekerjaan tenaga kerja yang kita bayar. Saat itu juga kita sudah bisa memproklamasi diri sebagai business owner.

Ketiga, BOBOL (Berani Optimistis meniru Bisnis Orang Lain). Meniru bisnis orang lain bukan tabu dalam memulai bisnis. Kalau kita amati, masih banyak produk industri rumahan yang menarik. Kita tinggal meniru saja bisnis itu dengan inovasi di sana-sini. Bukan mustahil, justru bisnis kita yang muncul belakangan itulah, yang bisa berkembang lebih pesat ketimbang pendahulunya.

Yang juga harus selalu diingat, tak ada bisnis yang langsung jadi. Jatuh-bangun dan gagal adalah hal yang lumrah setiap kali kita memulai bisnis. Demikian juga, seorang karyawan (employee) yang ingin banting setir menjadi wirausahawan, ia harus berani mengubah pola pikirnya (mindset). Ketika menjadi karyawan, pola pikirnya adalah penghasilannya pasti dan ajeg. Adapun wirausahawan justru antikepastian, sekaligus konsisten dengan ketidakpastian dan risiko. Wirausahawan harus melihat risiko sama dengan rezeki. Di mata pengusaha, bila bisnis berpotensi hi-risk, berarti bisnis itu juga hi-rezeki.

Jadi, sekali lagi, mulailah wujudkan mimpi Anda, sekarang juga. Jangan biarkan orang lain menyabot mimpi Anda. Sesal kemudian sudah pasti tidak berguna.

Penulis adalah Presiden Direktur Grup Primagama, Yogyakarta, pengelola Entrepreneur University.